All About NTT

Istana Raja Itu Beratap Asbes


Istana kerajaan Larantuka itu beratap asbes dan berlantai semen. Di sekitar istana ada enam meriam yang tak bisa lagi melontarkan bola kanon. Itulah Istana Ile Mandiri, yang dulu dihuni Raja Don Lorenzo III DVG, raja Larantuka, di Kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara Timur.
Siapa pun yang memandang deretan rumah di daerah pesisir pantai, di Jalan Reinha Rosari, Kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara Timur, tidak akan ada yang mampu menemukan sebuah bangunan yang memenuhi kesan tentang sebuah ”istana”. Padahal, sesungguhnya di kawasan itu, di lahan sekitar setengah hektar, berdiri sebuah Istana Ile Mandiri. Itulah
istana Kerajaan Larantuka, yang dihuni oleh keluarga Raja Larantuka yang terakhir, almarhum Don Lorenzo III Diaz Viera Godinho (1913-1982). Dia tidak menjadi raja lagi sejak 1962 sejalan dengan peraturan Pemerintah RI.
Istri Don Lorenzo III adalah Dona Martina Kanena Ximenes da Silva yang kini berusia 90 tahun. Sang Ratu tinggal di bangunan utama dengan ukuran sekitar lebar 18 meter dan panjang 25 meter.
Dona tinggal bersama anak, menantu, dan cucu-cucunya. Raja Don Lorenzo III DVG dikaruniai 10 anak, yang terdiri 5 laki-laki dan 5 perempuan.
Dan marilah kita masuk ke istana. Di ruang tengah terdapat pesawat televisi Sony ukuran 29 inci. Di dapur istana ada kompor minyak tanah.
”Sebenarnya, anak-anak (raja) ingin melakukan pengubahan seperti lantai dengan keramik, tetapi Mama minta tetap dibiarkan dalam kondisi seperti aslinya,” kata salah seorang menantu Raja Don Lorenzo III DVG, Fransiskus Fernandez (67).
”Cuma atap yang dulunya genteng karena banyak yang rusak sekitar tahun 1970-an sudah diganti dengan seng,” kata Fransiskus yang adalah pensiunan badan pemberdayaan masyarakat desa Kabupaten Flores Timur,
”Dari keluarga kerajaan lebih banyak berkecimpung di pemerintahan dan ada satu yang menjadi pengembang, Laura, anak sulung dari Don Yohanes Servus,” kata Fransiskus.
Mama Dona dari pemberian anaknya kini memiliki mobil Toyota Kijang Krista, sedangkan Fransiskus sendiri mempunyai Toyota Kijang LGX. Anak-anak raja yang lain umumnya dengan sepeda motor, seperti Don Christoforus Igo menggunakan Yamaha RX King.

Jejak sejarah
Begitulah istana raja itu menjadi saksi bisu dari babakan sejarah panjang Kerajaan Larantuka. Ia merupakan bagian dari jejak sejarah yang di kemudian hari menjadi bagian dari Republik Indonesia. Kerajaan Larantuka, berdasarkan catatan sejarah, sebagaimana ditulis Purwadi dalam buku berjudul Jejak Nasionalisme Gajah Mada (2004), sudah berdiri dengan masyarakatnya yang memeluk agama asli jauh sebelum Portugis masuk Flores Timur pada 500 tahun silam.
Pada sekitar abad ke-13 Kerajaan Larantuka menjadi bagian dalam Kerajaan Majapahit. Wilayah Kerajaan Larantuka meliputi kota Larantuka di bagian timur Pulau Flores, kemudian sebagian Pulau Adonara dan Pulau Solor.
Menurut Fransiskus Fernandez, dari legenda setempat, Raja Larantuka berasal dari tiga bersaudara, yang lahir di Gunung Ile Mandiri, yaitu Lia Nurat (laki-laki) dan saudaranya yang perempuan, Watuwele I dan Watuwele II. Keturunan Lia Nurat kemudian mendiami kawasan pegunungan. Keturunan Watuwele II, yang bernama Laba mendiami Pulau Lembata dan Samon mendiami Tanah Boleng (Pulau Adonara). Adapun dari Watuwele I yang menurunkan raja-raja Larantuka.
Meskipun Kerajaan Larantuka tanpa kekuasaan, peran atau pengaruh keluarga kerajaan masih terasa kuat. Hal itu terutama dapat dilihat pada masa devosi Bunda Maria atau Semana Santa, tradisi peninggalan Portugis pada masa Pekan Suci Paskah. Keluarga kerajaan mendapat kesempatan pertama mencium patung Maria pada ritual keagamaan.
Begitu juga dalam rangkaian devosi Bunda Maria untuk masa mengaji Semana, kegiatan menaikkan nyanyian dan doa-doa adalah 13 Suku Semana, suku-suku yang pada masa dulu ditunjuk oleh raja Larantuka, dan tetap berjalan sampai saat ini.
”Saya sudah banyak lupa soal devosi Semana Santa, tetapi yang dapat saya ingat tiap tahun (saat hari Kamis Putih) saya selalu masuk lebih dulu di Kapela Tuan Ma, begitu pula untuk memanjatkan doa di sana,” kata Mama Dona, istri raja itu.
Mama Dona, istri raja dengan istana beratap asbes itu, menjadi jejak sejarah kekuasaan dan kejayaan. Orang-orang hari ini bisa banyak belajar banyak tentang kehidupan, terutama tentang kekuasaan, dari sisa kejayaan Raja Larantuka.

Sumber : Kompas Minggu, 11 April 2010




Kewalahan Sambut Peziarah


Polikarpus Blolon bingung, tak tahu harus mencari penginapan di mana lagi. Padahal, untuk keperluan menginap awal April 2010, ia sudah mencoba memesan kamar hotel pada bulan Februari. Itu pun tak membuahkan hasil karena semua kamar hotel sudah dipesan habis.
Anggota DPRD Kabupaten Flores Timur itu berupaya mencarikan tempat menginap bagi salah seorang pejabat pemerintah dari Jakarta yang hendak mengikuti Semana Santa, Pekan Suci Paskah, di Larantuka, Nusa Tenggara Timur, awal April lalu. Semua hotel telah dihubungi, begitu pula rumah-rumah dinas pejabat Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Flores Timur, yang biasanya juga dijadikan tempat menginap, semua sudah penuh dengan calon peziarah.
”Akhirnya terpaksa mencari tempat di rumah saudara, untungnya masih ada kamar yang kosong,” kata Polikarpus, akhir pekan lalu di Larantuka.
Apa yang dialami Polikarpus umumnya banyak pula dialami peziarah dari luar daerah yang kesulitan mendapatkan tempat menginap lantaran keterbatasan kamar hotel. Saat-saat perayaan Paskah, kota Larantuka seperti madu yang diserbu lebah. Kota ini dikunjungi ribuan peziarah yang ingin mengikuti secara langsung prosesi ritual Semana Santa di katedral setempat.
Saking membeludaknya peziarah dan terbatasnya kamar hotel, panitia dari Paroki Katedral Reinha Rosari Larantuka mengarahkan para peziarah untuk menginap di ruang-ruang kelas sekolah. Kebetulan, pada saat Pekan Suci Paskah, semua sekolah di Larantuka libur selama seminggu. Ruang-ruang kelas sekolah pun kemudian disulap menjadi kamar ”hotel” untuk sementara. Jika masih terdapat peziarah yang tidak kebagian tempat menginap, panitia mengarahkan mereka ke rumah-rumah penduduk.
Pekan Suci Paskah di Larantuka ibarat batang logam bermuatan magnet dengan daya besar. Umumnya para peziarah datang dari pulau-pulau sekitar Flores Timur, seperti Pulau Solor dan Pulau Adonara, serta beberapa kota di sekitar Pulau Flores dan Jawa. Mereka ingin secara langsung mengikuti jalannya prosesi mengarak patung Tuan Ma (Bunda Maria) dan Tuan Ana (Yesus Kristus) dari kapel menuju katedral setempat pada Jumat Agung pukul 14.00. Sebelum itu, para peziarah biasanya memanjatkan doa di kapel yang letaknya berdekatan itu. Sebagai puncaknya, ribuan peziarah itu menyemut untuk menghadiri misa Semana Santa yang dilakukan pada Jumat malam.
”Saya ke Larantuka sudah dua kali. Selain mempertebal iman, saya juga berdoa untuk kesejahteraan rumah tangga saya,” tutur peziarah bernama Yuliana Pong Foenay (60) yang mengaku datang dari Bogor.
Di luar bahwa para peziarah datang ke Larantuka dengan motif berdoa untuk kesembuhan dan kesejahteraan hidup, mereka juga tertarik pada tradisi prosesi yang merupakan akulturasi kebudayaan setempat dengan kebudayaan yang dibawa oleh orang-orang Portugis, hampir 500 tahun silam.

Unik
Ritual Pekan Suci Paskah di Larantuka diawali dengan Rabu Trewa, dua hari menjelang peringatan penyaliban Yesus Kristus. Warga Larantuka melakukan tikam turo, pembuatan pagar untuk tempat lilin di sepanjang lintasan prosesi Jumat Agung.
Pagar itu dibuat khusus dari batang kayu kukung, yang kemudian dikaitkan juga dengan lembar bambu belah sebagai tempat lilinnya. Pengikatan batang kukung dengan bambu belah itu khusus menggunakan daun gebang. Tradisi tersebut dihormati dan terus dipertahankan oleh warga setempat sampai saat ini.
Sementara Puncak Semana Santa pada Jumat Agung, dilakukan prosesi pengarakan patung Tuan Ana (Yesus Kristus) yang diikuti patung Tuan Ma (Bunda Maria), yang melambangkan prosesi salib, perjalanan penderitaan Yesus menuju Bukit Golgota untuk menebus dosa dunia.
Salah satu nyanyian atau lirik yang dilantunkan dalam prosesi itu berbahasa Portugis, seperti ”Sinyor Deo Missericordia” (Putra Allah Yang Maha Rahim). Lagu itu dinyanyikan dari armida (kemah persinggahan, juga dalam bahasa Portugis) ke armida yang lain. Dalam prosesi itu, perarakan melintasi delapan armida. Sebagaimana armida Tuan Ana (ke-8) melukiskan Yesus Kristus diturunkan dari salib kemudian dimakamkan.
Devosi Semana Santa sebagai kegiatan di luar liturgi gereja itu menarik perhatian peziarah dari berbagai daerah di Nusantara, bahkan luar negeri. Prosesi tersebut dipandang sakral dan para peziarah akan memanjatkan doa, permohonan, harapan, bahkan juga nazar mereka kepada Tuhan.
Mereka meyakini, doa yang dipanjatkan saat seluruh prosesi berlangsung, dengan penuh keimanan, akan terkabul. Malah, selain itu, ada pula peziarah yang datang khusus ke Larantuka untuk memanjatkan syukur atas doa mereka di tahun sebelumnya yang telah dikabulkan Tuhan.

Kemunduran
Pemkab Flores Timur belum melihat antusiasme kehadiran ribuan peziarah ke Larantuka sebagai sebuah potensi ekonomi. Bahkan, banyak pandangan mengatakan, wilayah itu sedang mengalami kemunduran dalam berbagai bidang.
Pengajar Fakultas Ekonomi Universitas Widya Mandira di Kupang, Thomas Ola Langoday, melihat, pengembangan pariwisata Flores Timur terkesan stagnan. Padahal, ritual Semana Santa sudah menjadi perhatian dunia dan hal itu merupakan satu potensi di bidang pariwisata yang besar, khususnya wisata rohani.
Semestinya, dari pengalaman seperti membeludaknya peziarah tiap tahun dan banyaknya peziarah yang tak tertampung di penginapan-penginapan setempat, pihak Pemkab Flores Timur harusnya cepat merespons dengan melakukan pembenahan.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Flores Timur tahun 2009, di kota Larantuka hanya ada 11 hotel dan dua hotel di Pulau Adonara dengan jumlah kamar 184 buah dan tempat tidur 348 buah. Jumlah yang relatif minim jika dibandingkan dengan jumlah peziarah yang mencapai ribuan orang. Hotel yang ada di sana pun bukan hotel berbintang.
Selain itu, kondisi hotel yang ada juga jauh di bawah standar hotel yang baik, apalagi kalau dilihat dalam standar internasional. Maka, tak mengherankan jika pada kunjungan kenegaraan atau kunjungan pejabat pemerintah ke Larantuka, bukan hotel yang dipakai, melainkan rumah dinas atau pribadi milik bupati atau wakilnya. Memang soal ini mengandung dilema. Jika pada Pekan Suci Paskah hotel-hotel dibanjiri para peziarah, pada hari-hari biasa tingkat hunian hotel di Larantuka hanya 10 persen per hari. Hotel-hotel baru sedikit lega jika terdapat acara-acara seperti pelatihan dan seminar yang diselenggarakan pemerintah atau institusi-institusi swasta.
Wakil Bupati Flores Timur Yoseph Laga Doni Herin mengakui, apabila dilihat dari aspek pengembangan pariwisata pascalima abad Portugis di daerah itu, pembangunan terkesan berjalan lamban.
”Hal itu harus diakui, kondisi pariwisata Flores Timur seperti ini saja, tidak ada kemajuan yang berarti. Akses jalan-jalan utama di kota ini mulai dibuka dan dirasakan manfaatnya tahun 1980-an pada masa Bupati Simon Soliwoa, setelah itu sampai saat ini berjalan stagnan,” kata Yoseph.
Yoseph juga mengemukakan, Pemkab Flores Timur kini menargetkan, hingga tahun 2015 daerah itu benar-benar dapat menjadi kota destinasi wisata internasional. Salah satu yang diprioritaskan adalah penataan wajah kota, juga sepanjang jalan utama menuju pusat kota.

Sumber : Kompas Minggu, 11 April 2010 
 



Jejak Silang Budaya LARANTUKA

Benteng itu sudah lama hancur. Yang masih tersisa hanya fondasi yang tertutup lumut, dengan beberapa bongkah batu di atasnya. Sebuah meriam tua tergeletak di tanah, tertimbun dedaunan kering. Inilah fortaleza (benteng pertahanan), salah satu jejak kedatangan Portugis di Pulau Solor, Nusa Tenggara Timur, hampir 500 tahun lalu.
Setelah menaklukkan Maluku sekitar tahun 1511, kapal-kapal Portugis pertama kali merapat ke Pulau Solor, sekitar 80 kilometer dari Larantuka, pada tahun 1556. Solor menjadi incaran karena pulau ini kaya akan kayu cendana meskipun saat ini tak ada lagi bekasnya. Kayu cendana sudah punah di sana. Kalaupun ada, tinggal beberapa batang pohon yang tumbuh alamiah di hutan-hutan sekitar.
Kekuasaan Portugis tak bertahan lama di Solor karena harus berhadapan dengan kekuatan kolonial lain, pasukan Belanda. Mereka lantas bergeser dari Pulau Solor ke Larantuka.
Pergeseran ini membuat sejumlah tradisi Lamaholot (Flores Timur daratan, Pulau Adonara, Solor, Lembata, dan Pulau Alor) terpengaruh. Budaya Portugis—yang kental dengan ritual agama Katolik—mengakar dalam kehidupan sehari-hari warga lokal.

Raja Larantuka saat itu, Ola Ado Bala (raja ke-11), pun mengubah namanya menjadi Don Fransisco Ola Ado Bala Diaz Viera Deo Godinho (DVG), atau lebih dikenal sebagai Don Fransisco Ola Ado Bala DVG. Gelar DVG kemudian dikenakan kepada raja-raja sesudahnya, sampai Raja Andreas Martinho DVG (saat ini).
Setelah Raja mengganti namanya, warga Larantuka pun beramai-ramai menggunakan nama-nama Portugis. Sebanyak 13 suku di Larantuka yang tadinya menggunakan nama suku Lamaholot berubah menjadi suku Fernandez, suku Da Silva, suku De Rosari, suku Da Costa. Juga Da Santo, Gonzales, Ribeiru, Skera, atau De Ornay.
Sejumlah tradisi Lamaholot pun berangsur berubah atau malah hilang, seperti kepercayaan kepada ”Rera Wulan Tana Ekan” (penguasa langit dan bumi) dan penghormatan ke Gunung Ile, yang dianut masyarakat di wilayah itu jauh sebelum Portugis menginjakkan kaki di Larantuka. Kepercayaan ini meluas di seluruh masyarakat Lamaholot dan menjiwai seluruh kehidupan mereka, baik dalam pembacaan mantra, syair, maupun pantun tradisional.
Titik temu
Tokoh masyarakat Larantuka, Pieter Da Santo, di Kupang, Kamis (8/4), menyebutkan, dalam bahasa Lamaholot, Larantuka berarti ”jalan tengah” atau ”titik temu”. Hal itu pas dengan kondisi saat ini, yaitu Larantuka menjadi titik pertemuan masyarakat dari Pulau Adonara, Lembata, Solor dan masyarakat dari daratan Pulau Flores. ”Larantuka juga menjadi pusat pertemuan budaya Lamaholot, Portugis, dan Melayu yang dibawa para pedagang,” katanya.
Dari sisi tradisi, Larantuka juga menjadi magnet bagi masyarakat sekitarnya. Meski secara politik pulau-pulau sekitar Larantuka ingin memisahkan diri dan menjadi kabupaten mandiri, pada perayaan-perayaan keagamaan, masyarakat dari pulau-pulau sekitar tetap menganggap Larantuka sebagai ”pusat”.
Dr Theresia Kumanireng, mantan dosen Universitas Nusa Cendana Kupang, yang melakukan penelitian khusus mengenai pengaruh bahasa dan budaya asli Larantuka dengan budaya Portugis dan Melayu, menemukan bahwa Portugis dan para penyiar agama juga memperkenalkan bahasa Melayu ke Larantuka. Bahasa Melayu yang telah menjadi bahasa Larantuka tampak dari penggalan-penggalan kalimat seperti ”beri torang ae dike se” (beri kita orang air sedikit), ”pagari” (pagi hari), dan juga ”kelao- kedara” (ke laut dan ke darat).
Bisa dikatakan, bahasa Larantuka merupakan ”campuran” 70 persen bahasa Melayu, 20 persen bahasa Portugis, 0,5 persen bahasa Belanda, serta sisanya merupakan bahasa Lamaholot, Latin, dan Arab. Penguasaan bahasa Melayu, pendidikan dan kesehatan yang diperkenalkan Portugis pada masa lalu membuat warga Larantuka saat itu merasa diri sebagai kelompok cerdik-pandai, berbudaya, dan modern.
Kini warga Lamaholot di Adonara, Solor, Lembata, dan sekitarnya sudah jauh berkembang. Di Pulau Adonara, misalnya, dengan jumlah penduduk 120.000 jiwa, saat ini telah ada 29 doktor dari berbagai disiplin ilmu yang mengabdi sebagai dosen di sejumlah perguruan tinggi di NTT.
Larantuka dan sekitarnya merupakan kepingan kecil dari wajah Indonesia yang secara kultural terbentuk dari pergaulan lintas budaya, lintas bangsa.

Sumber : Kompas, Minggu 11 April 2010


Prosesi Paskah 2010 di Larantuka

Jumat (2/4), hari masih pagi. Namun, umat Katolik di Larantuka, Nusa Tenggara Timur, dan sekitarnya sudah datang berbondongbondong ke Kapela Tuan Ma dan Tuan Ana untuk mencium patung Tuan Ma (Bunda Maria) dan Tuan Ana (Yesus Kristus).
Siang harinya, umat juga berbondong-bondong mengantar Tuan Tido (patung Yesus wafat disalib) melalui laut dari Kapela Tuan Meninu ke Pantai Kuce di Pohon Sirih dalam prosesi Semana Santa.
Uskup Larantuka Monsinyur Fransiskus Kopong Kung Pr untuk pertama kalinya dalam sejarah ikut mengantar patung Tuan Tido lewat prosesi laut itu. Sebelumnya, pengantaran dilakukan, antara lain, oleh tua-tua suku setempat bersama bupati.
Jumat siang, sekitar pukul 14.00 Wita, umat mengantar Tuan Ma dan Tuan Ana ke Gereja Katedral, dilanjutkan dengan misa wafatnya Isa Almasih, pukul 15.00. Menteri Pertahanan Purnomo Yusgiantoro hadir dalam misa tersebut.
Malam hari sekitar pukul 20.15, puluhan ribu umat dalam suasana hening dan khusyuk dihiasi cahaya lilin yang menerangi gelap malam berjalan mengelilingi kota. Arak-arakan dimulai dari Gereja Katedral, berkeliling, lalu kembali ke Gereja Katedral dan berakhir dini hari.
Malam itu umat beriringan di belakang sebuah peti yang berisi patung jenazah Yesus, disusul patung Tuan Ma, dilengkapi sejumlah salib dan patung-patung yang semuanya peninggalan Portugis sekitar lima abad lalu. Bagi orang Nagi, julukan orang Larantuka, Semana Santa merupakan hari yang penuh rahmat (hari bae).
Peziarah dari luar Nusa Tenggara Timur (NTT), bahkan luar negeri, juga berdatangan ke Larantuka untuk mengikuti devosi Bunda Maria ini. Apalagi tahun ini bertepatan dengan perayaan lima abad Tuan Ma.

Asal-usul
Kepercayaan terhadap Tuan Ma berawal lima abad silam. Berdasarkan penelitian dan sejumlah sumber tertulis dalam bahasa Belanda dan Portugis, patung Tuan Ma ditemukan sekitar tahun 1510 di Pantai Larantuka. Diduga, patung itu terdampar saat kapal Portugis atau Spanyol karam di Larantuka.
Konon, saat itu seorang anak laki-laki bernama Resiona menemukan patung berwujud perempuan saat mencari siput di Pantai Larantuka.
Resiona mengaku, kala itu dia melihat perempuan cantik dan, ketika ditanya nama serta dari mana datangnya, perempuan tersebut hanya menunduk lalu menulis tiga kata yang tak dipahami Resiona di pasir pantai. Setelah itu, ketika mengangkat mukanya, rupa wanita itu berubah menjadi patung kayu.
Ketiga kata yang ditulis itu lalu dibuatkan pagar batu agar tidak terhapus air laut, sedangkan patung setinggi tiga meter tersebut langsung diarak keliling kampung, memasuki korke, rumah-rumah pemujaan milik setiap suku di sana.
Kendati waktu itu masyarakat setempat belum mengenal patung tersebut, kepala kampung Lewonama, Larantuka, memerintahkan agar patung disimpan di korke. Patung kemudian dihormati sebagai benda keramat. Penduduk memberi sesaji setiap perayaan panen.
Masyarakat sekitar Larantuka menyebut patung itu sebagai Tuan Ma. Secara harfiah, Tuan Ma berarti tuan dan mama. Masyarakat Lamaholot menyebutnya, Rera Wulan Tanah Ekan, Dewa Langit dan Dewi Bumi.
Menurut Raja Larantuka Don Andreas Martinho DVG, sekitar tahun 1510 itu masyarakat Larantuka sudah melakukan devosi kepada Tuan Ma setiap Februari, sebagai syukur atas hasil panen dan tangkapan dari laut. Devosi merupakan kegiatan di luar liturgi gereja, praktik-praktik rohani yang merupakan ekspresi konkret keinginan melayani dan menyembah Tuhan melalui obyek-obyek tertentu.
Ketika padri dari Ordo Dominikan datang ke kampung itu lalu diminta membaca tiga kata yang ”diabadikan” itu, terbaca: Reinha Rosario Maria.
Ketika melihat patungnya, padri itu terharu dan berkata bahwa itulah Reinha Rosari yang dikenal juga sebagai patung Mater Dolorosa atau Bunda Kedukaan atau Mater Misericordia.
Sekitar tahun 1561, penyebaran agama Katolik oleh Portugis dimulai di Pulau Solor, yang kemudian dikenal misi Solor dengan menetapnya tiga misionaris, yaitu Pater Antonio da Cruz OP, Simao das Chagas OP, dan Bruder Alexio OP, di sana.
Tahun 1617, misionaris Portugis Pastor Manuel de Kagas berhasil memberi masukan pemahaman kepada raja-raja Larantuka. Dia menjelaskan, ”Tuan Ma yang disembah itu sebenarnya bernama Bunda Maria. Dia yang memiliki putra yang disebut Yesus Kristus. Yesus ini sebagai penebus dosa dan pembawa keselamatan”. Sejak itulah orang Larantuka yakin apa yang mereka sembah selama itu ternyata diakui secara universal.
Tahun 1650, Raja I Larantuka Ola Adobala dibaptis dan menyerahkan Kerajaan Larantuka kepada Bunda Maria. Setelah itu, putranya, Raja Don Gaspar I, pada 1665 mulai mengarak patung Maria keliling Larantuka.
Dalam perkembangannya, Raja Don Lorenzo I bersumpah kepada Maria atau Tuan Ma dengan memberi gelar tertinggi kepada Maria sebagai raja orang Larantuka.
Oleh karena itu, Larantuka disebut sebagai Kota Reinha (bahasa Portugis) atau Kota Ratu, Kota Maria. Tuan Ma kemudian diyakini sebagai Bunda Maria milik orang Larantuka. Devosi kepada Maria menjadi sentral hidup keluarga dan masyarakat Larantuka. Per Mariam ad Jesum, melalui Maria kita sampai kepada Yesus.
Proses inkulturasi pun terjadi antara kepercayaan masyarakat lokal, ajaran gereja, dan tradisi yang dibawa Portugis.

Sumber : Kompas, Sabtu 3 April 2010