All About Negeriku

Ilmu rumpu rampe
Sejarah Krisis Moneter di Indonesia

Sampai 1996, Asia menarik hampir setengah dari aliran modal negara berkembang. Tetapi, Thailand, Indonesia dan Korea Selatan memiliki "current account deficit" dan perawatankecepatan pertukaran pegged menyemangati peminjaman luar dan menyebabkan ke keterbukaan yang berlebihan dari risiko pertukaran valuta asing dalam sektor finansial dan perusahaan.
Pelaku ekonomi telah memikirkan akibat Daratan Tiongkok pada ekonomi nyata sebagai faktor penyumbang krisis. RRT telah memulai kompetisi secara efektif dengan eksportir Asia lainnya terutaman pada 1990-an setelah penerapan reform orientas-eksport. Yang paling penting, mata uang Thailand dan Indonesia adalah berhubungan erat dengan dollar, yang naik nilainya pada 1990-an. Importir Barat mencari pemroduksi yang lebih murah dan menemukannya di Tiongkok yang biayanya rendah dibanding dollar.
Krisis Asia dimulai pada pertengahan 1997 dan mempengaruhi mata uang, pasar bursa dan harga aset beberapa ekonomi Asia Tenggara. Dimulai dari kejadian di Amerika Selatan, investor Barat kehilangan kepercayaan dalam keamanan di Asia Timur dan memulai menarik uangnya, menimbulkan efek bola salju.
Banyak pelaku ekonomi, termasuk Joseph Stiglitz dan Jeffrey Sachs, telah meremehkan peran ekonomi nyata dalam krisis dibanding dengan pasar finansial yang diakibatkan kecepatan krisis. Kecepatan krisis ini telah membuat Sachs dan lainnya untuk membandingkan dengan pelarian bank klasik yang disebabkan oleh shock risiko yang tiba-tiba. Sach menunjuk ke kebijakan keuangan dan fiskal yang ketat yang diterapkan oleh pemerintah pada saat krisis dimulai, sedangkan Frederic Mishkin menunjuk ke peranan informasi asimetrik dalam pasar finansial yang menuju ke "mental herd" diantara investor yang memperbesar risiko yang relatif kecil dalam ekonomi nyata. Krisis ini telah menimbulkan keinginan dari pelaksana ekonomi perilaku tertarik di psikologi pasar.

Thailand
Dari 1985 ke 1995, Ekonomi Thailand tumbuh rata-rata 9%. Pada 14 May dan 15 May 1997, mata uang baht, terpukul oleh serangan spekulasi besar. Pada 30 Juni, Perdana Mentri Chavalit Yonchaiyudh berkata bahwa dia tidak akan mendevaluasibaht, tetapi administrasi Thailand akhirnya mengambangkan mata uang lokal tersebut pada 2 Juli.
Pada 1996, "dana hedge Amerika telah menjual $400 juta mata uang Thai. Dari 1985 sampai 2 Juli 1997, baht dipatok pada 25 kepada dolar. Baht jatuh tajam dan hilang setengah harganya. Baht jatuh ke titik terendah di 56 ke dolar pada Januari 1998. Pasar saham Thailand jatuh 75% pada 1997. Finance One, perusahaan keuangan Thailand terbesar bangkrut. Pada 11 Agustus, IMF membuka paket penyelamatan dengan lebih dari 16 milyar dolar AS (kira-kira 160 trilyun Rupiah). Pada 20 Agustus IMF menyetujui, paket "bailout" sebesar 3,9 milyar dolar AS.

Filipina
Bank sentral Filipina menaikkan suku bunga sebesar 1,75 persentasi point pada Mei dan 2 point lagi pada 19 Juni. Thailand memulai krisis pada 2 Juli. Pada 3 Juli, bank sentral Filipina dipaksa untuk campur tangan besar-besaran untuk menjaga peso Filipina, menaikkan suku bunga dari 15 persen ke 24 persen dalam satu malam.

Hong Kong
Pada Oktober 1997, dolar Hong Kong, yang dipatok 7,8 ke dolar AS, mendapatkan tekanan spekulatif karena inflasi Hong Kong lebih tinggi dibanding AS selama bertahun-tahun. Pejabat keuangan menghabiskan lebih dari US$1 milyar untuk mempertahankan mata uang lokal. Meskipun adanya serangan spekulasi, Hong Kong masih dapat mengatur mata uangnya dipatok ke dolar AS. Pasar saham menjadi tak stabil, antara 20 sampai 23 Oktober, Index Hang Seng menyelam 23%. Otoritas Moneter Hong Kong berjanji melindungi mata uang. Pada 15 Agustus 1997, suku bunga Hong Kong naik dari 8 persen ke 23 persen dalam satu malam.

Korea Selatan
Korea Selatan adalah ekonomi terbesar ke-11 dunia. Dasar makroekonominya bagus namun sektor banknya dibebani pinjaman tak-bekerja. Hutang berlebihan menuntun ke kegagalan besar dan pengambil-alihan. Contohnya, pada Juli, pembuat mobil ketiga terbesar Korea, Kia Motors meminta pinjaman darurat. Di awal penurunan pasar Asia, Moody's menurunkan rating kredit Korea Selatan dari A1 ke A3 pada 28 November 1997, dan diturunkan lagi ke Baa2 pada 11 Desember. Yang menyebabkan penurunan lebih lanjut di saham Korea sejak jatuhnya pasar saham di November. Bursa saham Seoul jatuh 4% pada 7 November 1997. Pada 8 November, jatuh 7%, penurunan terbesar yang pernah tercatat di negara tersebut. Dan pada 24 November, saham jatuh lagi 7,2 persen karena ketakutan IMF akan meminta reform yang berat. Pada 1998, Hyundai Motor mengambil alih Kia Motors.

Malaysia
Pada 1997, Malaysia memiliki defisit akun mata uang besar lebih dari 6 persen dari GDP. Pada bulan Juli, ringgit Malaysia diserang oleh spekulator. Malaysia mengambangkan mata uangnya pada 17 Agustus 1997 dan ringgit jatuh secara tajam. Empat hari kemudian Standard and Poor's menurunkan rating hutang Malaysia. Seminggu kemudian, agensi rating menurunkan rating Maybank, bank terbesar Malaysia. Di hari yang sama, Bursa saham Kuala Lumpur jatuh 856 point, titik terendahnya sejak 1993. Pada 2 Oktober, ringgit jatuh lagi. Perdana Mentri Mahathir bin Mohamad memperkenalkan kontrol modal. Tetapi, mata uang jatuh lagi pada akhir 1997 ketika Mahathir bin Mohamad mengumumkan bahwa pemerintah akan menggunakan 10 milyar ringgit di proyek jalan, rel dan saluran pipa.
Pada 1998, pengeluaran di berbagai sektor menurun. Sektor konstruksi menyusut 23,5 persen, produksi menyusut 9 persen dan agrikultur 5,9 persen. Keseluruhan GDP negara ini turun 6,2 persen pada 1998. Tetapi Malaysia merupakan negara tercepat yang pulih dari krisis ini dengan menolak bantuan IMF.

Indonesia
Pada Juni 1997, Indonesia terlihat jauh dari krisis. Tidak seperti Thailand, Indonesia memiliki inflasi yang rendah, perdagangan surplus lebih dari 900 juta dolar, persediaan mata uang luar yang besar, lebih dari 20 milyar dolar, dan sektor bank yang baik.
Tapi banyak perusahaan Indonesia yang meminjam dolar AS. Di tahun berikut, ketika rupiah menguat terhadap dolar, praktisi ini telah bekerja baik untuk perusahaan tersebut -- level efektifitas hutang mereka dan biaya finansial telah berkurang pada saat harga mata uang lokal meningkat.
Pada Juli, Thailand megambangkan baht, Otoritas Moneter Indonesia melebarkan jalur perdagangan dari 8 persen ke 12 persen. Rupiah mulai terserang kuat di Agustus. Pada 14 Agustus 1997, pertukaran floating teratur ditukar dengan pertukaran floating-bebas. Rupiah jatuh lebih dalam. IMF datang dengan paket bantuan 23 milyar dolar, tapi rupiah jatuh lebih dalam lagi karena ketakutan dari hutang perusahaan, penjualan rupiah, permintaan dolar yang kuat. Rupiah dan Bursa Saham Jakarta menyentuh titik terendah pada bulan Septemer. Moody's menurunkan hutang jangka panjang Indonesia menjadi "junk bond".
Meskipun krisis rupiah dimulai pada Juli dan Agustus, krisis ini menguat pada November ketika efek dari devaluasi di musim panas muncul pada neraca perusahaan. Perusahaan yang meminjam dalam dolar harus menghadapi biaya yang lebih besar yang disebabkan oleh penurunan rupiah, dan banyak yang bereaksi dengan membeli dolar, yaitu: menjual rupiah, menurunkan harga rupiah lebih jauh lagi.
Inflasi rupiah dan peningkatan besar harga bahan makanan menimbulkan kekacauan di negara ini. Pada Februari 1998, Presiden Suharto memecat Gubernur Bank Indonesia, tapi ini tidak cukup. Suharto dipaksa mundur pada pertengahan 1998 dan B.J. Habibie menjadi presiden.


Singapura
Ekonomi Singapura berhasil mengatur performa yang relatif sehat dibandingkan dengan negara lain di Asia selama dan setelah krisis finansial, meskipun hubungan erat dan ketergantungan ekonomi regional tetap membawa efek negatif terhadap ekonominya. Tetapi, secara keseluruhan kemampuannya menghilangkan krisis diperhatikan secara luas, dan meningkatkan penelitian kebijakan fiskal Singapura sebagai pelajaran bagi negara tetangganya.
Sebagai ekonomi terbuka, dolar Singapura terbuka terhadap tekanan spekulatif seperti telah terjadi pada 1985. Ekonomi sangat penting dalam keberlangsungan Singapura sebagai negara merdeka, pemerintah Singapura berhasil mengatur suku pertukaran mata uangnya untuk menghindari potensi penyerangan speklulatif.

Tiongkok daratan
Republik Rakyat Cina tidak terpengaruh oleh krisis ini karena renminbi yang tidak dapat ditukar dan kenyataan bahawa hampir semua investasi luarnya dalam bentuk pabrik dan bukan bidang keamanan. Meskipun RRT telah dan terus memiliki masalah "solvency" parah dalam sistem perbankannya, kebanyakan deposit di bank-bank RRT adalah domestik dan tidak ada pelarian bank.

Amerika Serikat dan Jepang
"Flu Asia" juga memberikan tekanan kepada Amerika Serikat dan Jepang. Ekonomi mereka tidak hancur, tetapi terpukul kuat.
Pada 27 Oktober 1997, Industri Dow Jones jatuh 554-point, atau 7,2 persen, karena kecemasan ekonomi Asia. Bursa Saham New York menunda sementara perdagangan. Krisis ini menuju ke jatuhnya konsumsi dan keyakinan mengeluarkan uang.
Jepang terpengaruh karena ekonominya berperan penting di wilayah Asia. Negara-negara Asia biasanya menjalankan defisit perdagangan dengan Jepang karena ekonomi Jepang dua kali lebih besar dari negara-negara Asia lainnya bila dijumlahkan, dan tujuh kali lipat RRT. Sekitar 40 persen ekspor Jepang ke Asia. Pertumbuhan nyata GDP melambat di 1997, dari 5 persen ke 1,6 persen dan turun menjadi resesi pada 1998. Krisis Finansial Asia juga menuntun ke kebangkrutan di Jepang.

Laos
Laos terpengaruh ringan oleh krisis ini dengan nilai tukar Kip dari 4700 ke 6000 terhadap satu dolar AS.

Konsekuensi
Krisis Asia berpengaruh ke mata uang, pasar saham, dan harga aset lainnya di beberapa negara Asia. Indonesia, Korea Selatan dan Thailand adalah beberapa negara yang terpengaruh besar oleh krisis ini.
Krisis ekonomi ini juga menuju ke kekacauan politk, paling tercatat dengan mundurnya Suharto di Indonesia dan Chavalit Yongchaiyudh di Thailand. Ada peningkatan anti-Barat, denganGeorge Soros dan IMF khususnya, keluar sebagai kambing hitam.
Secara budaya, krisis finansial Asia mengakibatkan kemunduran terhadap ide adanya beberapa set "Asian value", yaitu Asia Timur memiliki struktur ekonomi dan politik yang superior dibanding Barat. Krisis Asia juga meningkatkan prestise ekonomi RRC.
Krisis Asia menyumbangkan ke krisis Rusia dan Brasil pada 1998, karena setelah krisis Asia bank tidak ingin meminjamkan ke negara berkembang.
Krisis ini telah dianalisa oleh para pakar ekonomi karena perkembangannya, kecepatan, dinamismenya; dia mempengaruhi belasan negara, memiliki efek ke kehidupan berjuta-juta orang, terjadi dalam waktu beberapa bulan saja. Mungkin para pakar ekonomi lebih tertarik lagi dengan betapa cepatnya krisis ini berakhir, meninggalkan ekonomi negara berkembang tak berpengaruh. Keingintahuan ini telah menimbulkan ledakan di pelajaran tentang ekonomi finansial dan "litani" penjelasan mengapa krisis ini terjadi. Beberapa kritik menyalahkan tindakanIMF dalam krisis, termasuk oleh pakar ekonomi Bank Dunia Joseph Stiglitz.

Sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/Krisis_finansial_Asia_1997

Awal Krisis Moneter Indonesia

Juni 14, 2007
Krisis yang melanda bangsa Indonesia, menjadi awal terpuruknya sebuah negara dengan kekayaan alam yang melimpah ini. Dari awal 1998, sejak era orde baru mulai terlihat kebusukannya Indonesia terus mengalami kemerosotan, terutama dalam bidang ekonomi. Nilai tukar semakin melemah, inflasi tak terkendali, juga pertumbuhan ekonomi yang kurang berkembang di negara ini.
Pada Juni 1997, Indonesia terlihat jauh dari krisis. Tidak seperti Thailand, Indonesia memiliki inflasi yang rendah, perdagangan surplus lebih dari 900 juta dolar, persediaan mata uang luar yang besar, lebih dari 20 milyar dolar, dan sektor bank yang baik.
Tapi banyak perusahaan Indonesia banyak meminjam dolar AS. Di tahun berikut, ketika rupiah menguat terhadap dolar, praktisi ini telah bekerja baik untuk perusahaan tersebut — level efektifitas hutang mereka dan biaya finansial telah berkurang pada saat harga mata uang lokal meningkat.
Pada Juli, Thailand megambangkan baht, Otoritas Moneter Indonesia melebarkan jalur perdagangan dari 8 persen ke 12 persen. Rupiah mulai terserang kuat di Agustus. Pada 14 Agustus 1997, pertukaran floating teratur ditukar dengan pertukaran floating-bebas. Rupiah jatuh lebih dalam. IMF datang dengan paket bantuan 23 milyar dolar, tapi rupiah jatuh lebih dalam lagi karena ketakutan dari hutang perusahaan, penjualan rupiah, permintaan dolar yang kuat. Rupiah dan Bursa Saham Jakarta menyentuh titik terendah pada bulan September. Moody’s menurunkan hutang jangka panjang Indonesia menjadi “junk bond”.
Meskipun krisis rupiah dimulai pada Juli dan Agustus, krisis ini menguat pada November ketika efek dari devaluasi di musim panas muncul di neraca perusahaan. Perusahaan yang meminjam dalam dolar harus menghadapi biaya yang lebih besar yang disebabkan oleh penurunan rupiah, dan banyak yang bereaksi dengan membeli dolar, yaitu: menjual rupiah, menurunkan harga rupiah lebih jauh lagi.
Inflasi rupiah dan peningkatan besar harga bahan makanan menimbulkan kekacauan di negara ini. Pada Februari 1998, Presiden Suharto memecat Gubernur Bank Indonesiaa, tapi ini tidak cukup. Suharto dipaksa mundur pada pertengahan 1998 dan B.J. Habibie menjadi presidenSampai 1996, Asia menarik hampir setengah dari aliran modal negara berkembang. Tetapi,Thailand, Indonesia dan Korea Selatan memiliki “current account deficit” dan perawatan kecepatan pertukaran pegged menyemangati peminjaman luar dan menyebabkan ke keterbukaan yang berlebihan dari resiko pertukaran valuta asing dalam sektor finansial dan perusahaan.
Pelaku ekonomi telah memikirkan akibat Daratan Tiongkok pada ekonomi nyata sebagai faktor penyumbang krisis. RRT telah memulai kompetisi secara efektif dengan eksportir Asia lainnya terutaman pada 1990-an setelah penerapan reform orientas-eksport. Yang paling penting, mata uang Thailand dan Indonesia adalah berhubungan erat dengan dollar, yang naik nilainya pada 1990-an. Importir Barat mencari pemroduksi yang lebih murah dan menemukannya di Tiongkok yang biayanya rendah dibanding dollar.
Krisis Asia dimulai pada pertengahan 1997 dan mempengaruhi mata uang, pasar bursa dan harga aset beberapa ekonomi Asia Tenggara. Dimulai dari kejadian di Amerika Selatan, investor Barat kehilangan kepercayaan dalam keamanan di Asia Timur dan memulai menarik uangnya, menimbulkan efek bola salju.
Banyak pelaku ekonomi, termasuk Joseph Stiglitz dan Jeffrey Sachs, telah meremehkan peran ekonomi nyata dalam krisis dibanding dengan pasar finansial yang diakibatkan kecepatan krisis. Kecepatan krisis ini telah membuat Sachs dan lainnya untuk membandingkan dengan pelarian bank klasik yang disebabkan oleh shock resiko yang tiba-tiba. Sach menunjuk ke kebijakan keuangan dan fiskal yang ketat yang diterapkan oleh pemerintah pada saat krisis dimulai, sedangkan Frederic Mishkin menunjuk ke peranan informasi asimetrik dalam pasar finansial yang menuju ke “mental herd” diantara investor yang memperbesar resiko yang relatif kecil dalam ekonomi nyata. Krisis ini telah menimbulkan keinginan dari pelaksana ekonomi perilaku tertarik dipsikologi pasar.
Sumber : http://dinconomy.wordpress.com/2007/06/14/awal-krisis-moneter-indonesia/


12/08/09
Sebab-Kebab Krisis Moneter 1998

Mungkin ini agak terlalu jadul, tapi masih sangat menarik untuk di ngedoboskan, mengingat masih ada beberapa point yang belum di mengerti oleh konco-konco ngedobos. Berikut saya ambil dari makalah yang terdapat pada majalah info bank. Mari kita mulai Learning by ngedobos. Kas rupiah pada hari senen, 21 Juli 199 merosot dari 2500/$1 menjadi 6000/$1. Hal tersebut dikarenakan imbas dari mata uang Thailan, tetapi jika kita lihat ke belakang penyebab-penyebab yang menahului akan hal ini adalah: 1. liberalisasi perbankan yang overshoot sejak permulaan 19, dimana paa tahun 1980-an kita mengalami resesi ekonoi dan merosotnya harga minyak dunia.(Maryanto Dana Saputro
Krisis moneter dimulai dari gejala/kejutan keuangan pada juli 1997, menurunnya nilai tukar rupiah secara tajam terhadap valas, diukur dengan dolar Amerika serikat yang merupakan pencetus/trigger point. Meskipun tidak ada depresiasi tajam baht(mata uang Thailan), Krismon tetap akan terjadi di Negara tercinta ini. Kenapa? karena gejolak sosial dan politik Indonesia yang memanas. Oleh karena itu penyebab krismon 98 bisa ikatakan campuran dari unsur-unsur eksternal dan domestik(J. Soedrajad Djiwandono).
Diabaikannya early warning system merupakan penyebab mengapa krismon 97 melanda Inonesia. Aapun early system warningnya adalah: meningkatnya secara tajam deficit transaksi berjalan sehingga pada saat terjadinya krisis, defisit transaksi berjalan Inonesia sebesar 32.5% dari PDB. Utang luar negeri baik pemerintah maupun swasta yang tinggi. Boomingnya sektor properti dan financial yang mengabaikan kebijakan kehati-hatian dalam pemberian kredit perbankan diperuntukan untuk membiayayai proyek-proyek besar yang isponsori pemerintah dan tiak semua proyek besar itu visibel. Tata kelola yang buruk(bad governence) dan tingkat transpalasi yang rendah baik sektor publik maupun swasta(Marie Muhamad).
Saat semua indikator ekonomi makro membaik, mengapa krisis moneter menyerang Inonesia? Ada 5 faktor yang menyebabkan hal itu terjadi. 1 argument bahwa pasar financial internasional tidak stabil secara inheren yang kemudian mengakibatkan buble ekonomi dan cenderung bergerak liar. Bahkan sejak tahun 1990-an pasar financiall lebih tidak stabil lagi. Hal ini dikarenakan tindakan perbankan negara-negara maju menurunkan suku bunga mereka. Sehingga mendorong dana-ana masuk pasar global. Maka pada tahun 1990-an ana asing melonjak dari $9 Miliyard menjadi lebih dari $240 Milliyard. 2. Kegagalan manajemen makro ekonomi tercermin dari kombinasi nilai tukar yang kaku dan kebijkan fiskal yang longgar, inflasi yang merupakan hasil dari apresiasi nilai tukar efectif riil,deficit neraca pembayaran dan pelarian modal. 3. Kelemahan sektorfinacial yang over gradueted, but under regulete dan masalah moralhazar. 4. Semakin membesarnya cronycapitalism dan sistem politik yang otoriter dan sentralistik(M. Fadhil Hasan).
Jika diartikan secara ekonomis teknis, krisis bisa disebut sebagai titikbalik pertumbuhan ekonomi yang menjadi merosot. Dan penyebabnya jika ditinjau ari teori konjungtur, ada ua karakteristik krisis 1. krisis disebabkan tidak sepaannya kenaikan konsumsi ketimbang kenaikan kapasitas prouksi atau unerconsumption crissis. 2. Krisis disebabkan terlampau besarnya investasi yang dipicu modal asing karena tabungan nasional sudah lebih ari habis untuk berinvestasi. Krisis seperti ini disebut overinvestment, dan ini yang terjadi di Inonesia(Kwik Kian Gie). Begitulah beberapa penyebab krismon 98 di Indonesia, yang dampaknya masih tersasampai sampai sekarang. Yang perlu saya garis bawahi adalah betapa negara tercinta ini ketergantungan terhadap asing sangat tinggi. Untuk itu para pemuda agen perubahan, AYO KITA UBAH NEGARA TERCINTA INI MENJADI LEBIH BAIK, MANDIRI DAN BERMORAL. Kritik, saran dan cacian selalu saya tunggu.
Sumber : http://ngedobos.blogspot.com/2009/08/sebab-sebab-krisis-moneter-1998.html


Lengsernya Soeharto
Artikel dibawah ini dikutip dari Laporan Utama Majalah Tempo Edisi. 33/XXXV/09 - 15 Oktober 2006.

Satu Babak Sebelum Lengser
Kontroversi seputar buku mantan presiden Habibie menyingkap fakta baru sejarah Mei 1998. Pihak militer disebut-sebut berperan mempercepat pergantian rezim. Dua mayor jenderal dan sejumlah kolonel diduga ”membiarkan” mahasiswa merajai Senayan. Tempo mencoba memotret momen-momen penting 24 jam menjelang lengsernya Soeharto.
Soeharto melangkah ke kamar kerjanya. Lalu jenderal besar itu kembali dengan dua surat di tangan. Isinya, instruksi pembentukan Komando Operasi Kewaspadaan dan Keselamatan Nasional. Satu surat dia sodorkan kepada Jenderal Wiranto, Panglima ABRI merangkap Menteri Pertahanan dan Keamanan. Satunya lagi dia ulurkan ke Jenderal Subagyo Hadisiswoyo, Kepala Staf Angkatan Darat.
Soeharto mewanti-wanti Wiranto saat surat berpindah tangan: ”Mbok menowo mengko ono gunane—siapa tahu kelak ada gunanya,” sumber Tempo yang hadir di ruangan menirukan ucapan Soeharto dalam bahasa Jawa. Melalui surat itu, Wiranto dilimpahi wewenang sebagai Panglima Komando Operasi Kewaspadaan dan Keselamatan Nasional. Kedudukan ini memberi dia kekuasaan hampir tak terbatas untuk menjaga keterbitan negara.
Penanggalan hari itu 20 Mei 1998, menjelang tengah malam. Senyap meliputi seantero Jalan Cendana 10, Jakarta Pusat kediaman pribadi keluarga Presiden. Soeharto duduk. Wajahnya pias. Bahunya luruh. Dia berkata dengan pelan: ”Saya sudah bicara dengan anak-anak. Saya akan mundur besok agar tidak ada korban lebih besar,” sumber Tempo kembali menirukan ujaran Soeharto.
Wiranto mengeluarkan secarik kertas dari saku. Rupanya ia sudah menyiapkan catatan. Dia berkata kepada Presiden: ”ABRI akan melindungi semua mantan presiden beserta keluarganya.” Soeharto mengangguk. Di sudut ruangan Siti Hediati ”Titiek” Harijadi meneteskan air mata. Putri Soeharto itu menangis dengan suara tertahan. Komandan Pasukan Pengamanan Presiden Mayor Jenderal Endriartono Sutarto hadir pula di ruangan itu.
Pertemuan selesai. Wiranto dan Subagyo meninggalkan Jalan Cendana. Tengah malam sudah lewat.
Penanggalan berganti ke 21 Mei 1998.

Sembilan jam kemudian Bacharuddin Jusuf Habibie disumpah di Istana Merdeka sebagai Presiden Indonesia ketiga. Tongkat estafet berpindah tangan. Tapi Soeharto sejatinya sudah menyerah pada malam sebelumnya. Semua pilar kekuasaan yang dia bangun sejak 12 Maret 1967 runtuh. Golongan Karya, kekuatan politik utama yang selama bertahun-tahun menopangnya, telah berpaling. Empat belas menteri meninggalkan dia.
Tiga hari sebelumnya di Senayan Ketua MPR/DPR Harmoko bersama pimpinan Dewan lain meminta Soeharto turun takhta. Padahal, selama belasan tahun Harmoko membuktikan diri sebagai pembantu yang amat takzim. Bekas Menteri Penerangan itu adalah salah satu confidant, orang kepercayaan Soeharto selama separuh lebih masa kepresidenannya.
Dari Jalan Cendana, Soeharto menyaksikan semua kartu as lepas dari tangannya. Salah satu yang utama, faktor ekonomi. Indonesia pernah dijuluki ”Macan Asia” karena keperkasaan negeri ini di bidang ekonomi. Sejarah pertumbuhan pada awal era Orde Baru pernah mencatat sejumlah prestasi. Ekonom Emil Salim pernah menulis bahwa indeks biaya hidup di Indonesia antara tahun 1960 dan 1966 naik 438 kali lipat.
Pemerintah saat itu menggulirkan antara lain kebijakan deregulasi dan debirokratisasi untuk menyelamatkan ekonomi. Sebut contoh, Paket 10 Februari dan 28 Juli 1967. Pemerintah membuka diri untuk penanaman modal asing secara bertahap. Dengan cara itu, inflasi bisa dijinakkan perlahan-lahan. Dari sekitar angka 650 persen (1966) hingga terkendali di posisi 13 persen (1969). ”Ini prestasi yang diraih pemerintah saat itu,” tulis Emil.
Hampir tiga dekade kemudian, Soeharto turun panggung dengan utang Republik tak terkira. Utang baru US$ 43 miliar (kini setara Rp 387 triliun) dari Dana Moneter Internasional, IMF, tak mampu menyangga nilai rupiah. Hari itu, 21 Mei 1998, pasar uang menutup transaksi dengan Rp 11.236 per dolar AS—terjun bebas dari Rp 2.500 per dolar AS. Pada awal 1998, rupiah sampai terjengkang ke jurang: Rp 17.000 per dolar AS.
Seorang pakar sistem dewan mata uang (currency board system/CBS) asal Amerika, Steve Hanke, didatangkan ke Indonesia menjelang kejatuhan Soeharto. Berkali-kali dia mengingatkan Soeharto agar tak mempercayai IMF, karena lembaga ini khawatir CBS bakal sukses diterapkan di Indonesia. ”Washington punya kepentingan agar krisis berlangsung terus sehingga Anda jatuh,” kata Hanke kepada Soeharto seperti diulanginya kepada Tempo, Jumat pekan lalu.
Soeharto percaya. Dan Hanke diangkat sebagai penasihat khusus. Ia bahkan sempat menyebut CBS dalam pidatonya di depan Sidang Umum MPR 1 Maret 1998. Tapi utang terus melemahkan posisi Soeharto. Sembari para sekutunya lepas satu-satu.
Seakan belum cukup semua bala, Soeharto ditinggalkan pula oleh pilar yang dibinanya selama puluhan tahun: ABRI. Seorang jenderal purnawirawan yang cukup berperan pada era 1998 membuka ceritera ini kepada Tempo pekan lalu. ”ABRI,” kata jenderal itu, ”satu-satunya kekuatan yang disangka Pak Harto masih mendukungnya, juga meninggalkan dia.” Itulah pukulan telak terakhir yang menghantam jenderal tua yang sudah goyah itu.
Maka, pada Kamis malam 20 Mei—sebelum dia memanggil Wiranto dan Subagyo—Soeharto mengumpulkan putra-putri dan kerabatnya. Seorang tokoh dari lingkar dalam Cendana menuturkan kembali kenangan delapan tahun silam itu kepada Tempo, pekan lalu: ”Titiek dan Mamiek (nama kecil Siti Hutami Adiningsih) menangis selama pertemuan.”
Dia juga menirukan kata-kata putra ketiga Soeharto, Bambang Trihatmodjo, yang bertanya kenapa ayahnya tidak mundur sesuai dengan jadwal. Siti ”Tutut” Hardijanti Rukmana, anak sulung keluarga Cendana, membuka suara: ”Sama saja, besok atau lusa Bapak harus mundur!”
Jadwal yang dimaksudkan Bambang adalah skenario awal mundurnya Soeharto yang telah disampaikan mantan presiden itu kepada keluarganya. Yakni, mengumumkan pembentukan Komite Reformasi pada 21 Mei, merombak kabinet pada 22 Mei. Dan, lengser pada 23 Mei.
Soeharto ternyata mundur lebih cepat.
Ahli ilmu pemerintahan Ryaas Rasyid, yang dulu dekat dengan kalangan militer, menyatakan bahwa ABRI memang sudah sepakat agar Soeharto mundur. Ia menuturkan, pertemuan di Jalan Merdeka Barat pada 20 Mei malam yang dihadiri Jenderal Wiranto, Letnan Jenderal Susilo Bambang Yudhoyono kini Presiden RI. Juga, Mayor Jenderal Agus Widjojo dan Letnan Jenderal Hari Sabarno.
Ryaas hadir bersama pakar hukum tata negara Harun Alrasid, Rektor Universitas Indonesia Asman Boedisantoso, dan pengamat militer Salim Said. Ryaas dan kawan-kawannya menanyakan sikap ABRI jika Habibie menjadi presiden. Yudhoyono saat itu menjawab: ”Kami bisa menerima.” Wiranto, menurut Ryaas, mengiyakan jawaban Kepala Staf Sosial Politik ABRI itu.
Menurut Ryaas, dia dan rekan-rekannya bertanya lagi kapan kira-kira menurut ABRI Soeharto akan turun. Yudhoyono kembali menjawab: ”Enam bulan sampai setahun lagi.” Jawaban ini, menurut Ryaas, cocok dengan pembawaan Yudhoyono yang dikenal sebagai sosok moderat. Hasil pertemuan ini yang kemudian disampaikan kepada Soeharto.
Nah, kondisi tentara sendiri saat itu terbelah. Jenderal Subagyo menyebut adanya faksi Wiranto dan faksi Letnan Jenderal Prabowo Subianto, Panglima Kostrad. ”Saya di tengah-tengah,” tulisnya dalam buku KSAD dari Piyungan.
Mayor Jenderal Kivlan Zen, mantan Kepala Staf Kostrad, berada di kelompok Prabowo bersama sejumlah jenderal lain. Ketika ribuan mahasiswa menduduki gedung parlemen, ia mengaku menggalang sejumlah organisasi massa pro-Soeharto merebut kembali gedung parlemen dari tangan mahasiswa. Tapi massa ini urung beraksi karena Soeharto mundur lebih cepat.
Kivlan mengaku mati-matian mencegah demonstrasi yang digalang Amien Rais, Ketua Pengurus Pusat Muhammadiyah, pada 20 Mei di kawasan Monas. Ia memerintahkan pasukannya membawa peluru tajam untuk menghadang massa. ”Saya sempat meminta Prabowo menemui Amien agar membatalkan niatnya. Jika tidak, dia bisa ditembak anak buah saya atau saya tangkap,” ujar Kivlan kepada Tempo. Dia juga mengatur agar tank dan panser ditempatkan di pusat kota. ”Lindas mereka yang memaksa masuk Monas dengan tank!,” ujar Kivlan kepada pasukannya saat itu.
Aksi sejuta orang di Monas kemudian batal. Namun Soeharto kian terdesak ke tubir jurang. Sejumlah orang yang dihubungi untuk menjadi anggota Komite Reformasi menolak. Ada 14 menteri ekonomi pimpinan Ginandjar Kartasasmita tidak bersedia bergabung dalam kabinet baru Soeharto.
Selepas magrib 20 Mei, Prabowo yang masih mengenakan pakaian tempur loreng menemui Habibie di Patra Kuningan. ”Pak, kemungkian besar Pak Tua akan turun,” tulisnya dalam Buku Putih Prabowo, 1999. Habibie menyatakan siap menggantikan Soeharto.
Dari Kuningan, ia menuju Cendana. Prabowo mengira bakal mendapat pujian karena sudah menggagalkan demonstrasi. Nyatanya, yang dia dapatkan adalah ”kejutan”. Di ruang keluarga, Soeharto sedang duduk bersama Wiranto dan putra-putri Cendana. Jenderal yang dijuluki The Rising Star itu dianggap pecundang di depan keluarga istrinya.
Soeharto kemudian menunjuk bekas ajudannya itu menjadi Panglima Komando Operasi Kewaspadaan dan Keselamatan Nasional di detik-detik terakhir kekuasaannya. Dengan kuasa itu, Wiranto bisa memerintahkan semua menteri dan pemimpin lembaga pemerintahan dari pusat hingga daerah untuk membantu tugasnya.
Tapi Wiranto tidak memakainya.
Pada 21 Mei pukul 09.00 WIB Soeharto menyatakan mundur. Habibie mengucapkan sumpah di depan podium. Sesaat setelah itu, Wiranto mengambil alih mikrofon. Lalu berkata: ”ABRI tetap menjaga keselamatan dan kehormatan para mantan presiden, termasuk mantan presiden Soeharto dan keluarga.”
”Pertempuran” satu babak di lingkar elite menjelang lengsernya Jenderal Soeharto usai sudah. Dan Wiranto keluar sebagai pemenang.
Setidaknya, untuk saat itu.

Budi Setyarso, Wahyu Dhyatmika, HYK
Perintah Siapa
Komando pergerakan pasukan ABRI di Jakarta sejak 14 Mei 1998 ada di tangan Panglima Komando Operasi Jaya Letnan Jenderal TNI Sjafrie Sjamsoeddin, yang juga Panglima Kodam Jaya. Inilah pernyataan sejumlah petinggi di lingkaran elite militer berkaitan dengan tugas mereka di masa genting itu.
Wiranto (Jenderal)
Panglima ABRI
Tugas: Penanggung jawab tertinggi pertahanan dan keamanan RI. Semua pergerakan pasukan saat itu harus seizin Panglima.
Pernyataan: ”Ada laporan yang valid tentang pengerahan kekuatan pasukan Kostrad di Jakarta yang tidak dilaporkan ke Mabes ABRI.… Fakta ini merupakan sesuatu yang boleh dianggap sebagai insubordinasi.”
Fachrul Razi (Letnan Jenderal)
Kepala Staf Umum ABRI
Tugas: Penanggung jawab operasional pasukan ABRI.
Soebagyo H.S. (Jenderal)
Kepala Staf Angkatan Darat
Tugas:Membina pasukan TNI Angkatan Darat.
Pernyataan: ”Penempatan semua pasukan sudah ditetapkan, yaitu berada di bawah kendali Panglima Komando Operasi.”
Prabowo Subianto (Letnan Jenderal)
Panglima Kostrad
Tugas: Mempersiapkan pasukan yang diperbantukan atau di bawah kendali operasi kepada Panglima Kodam.
Pernyataan: ”Tidak ada pergerakan pasukan di luar komando. Semua di bawah kendali Panglima Kodam. Seandainya ada, untuk apa? Apa mau kudeta?”
Sjafrie Sjamsoeddin (Mayjen)
Panglima Kodam Jaya Sekaligus Panglima Komando Operasi Jaya
Tugas: Memulihkan keamanan Ibu Kota dan mengendalikan semua pasukan di Jakarta.
Pernyataan: ”Saya tahu betul penempatan dan kedudukan semua pasukan. Saya tidak khawatir. Kalau ada pasukan tidak terkendali, dari mana datangnya?
Kivlan Zein (Mayjen)
Kepala Staf Kostrad
Tugas: Menangani urusan internal dan menjadi orang kedua dalam alur komando Kostrad.
Pernyataan: ”Semua pasukan Kostrad didatangkan ke Jakarta atas permintaan Panglima Komando Operasi. Setelah diserahkan, saya tidak tahu lagi urusannya.”
Mengepung Jakarta
Kerusuhan di Ibu Kota pada 13-14 Mei 1998 masih menyimpan sejumlah tanda tanya. Ada yang menyebut polisi sengaja diperintahkan mundur agar api bebas melalap Jakarta. Ada yang curiga beberapa titik kerusuhan sengaja disulut. Di manakah tentara ketika itu?
12 Mei
Kostrad hanya memiliki tiga kompi (1 kompi = 100 orang) pasukan di Jakarta.
13 Mei
Empat batalion (1 batalion = 700–1.000 orang) pasukan Kostrad dari Yon Arhanudri 1/Kostrad, Batalion Infanteri (Yonif) 305 dan Yonif 328 yang bermarkas di Cilodong, Jawa Barat, bergerak ke Jakarta.
14 Mei
Lima batalion dikirim dari Jawa Barat (Yon 303 dari Garut, Yon 321 dari Tasikmalaya, dan Yon 323 dari Ciamis)
14 Mei
Lima batalion pasukan Kostrad dikirim dari Jawa Tengah (Solo, Salatiga, Purwokerto)
15 Mei
Lima batalion pasukan Kostrad tiba di Jakarta. Mereka didatangkan dari Jawa Timur dengan pesawat terbang (pasukan Brigade Infanteri Lintas Udara ke-18 dan Yonif 502 dari Malang, Yonif 501 dari Madiun, Yonif 503 dari Mojokerto)
15 Mei
Bantuan pasukan didatangkan dari Yonif 721 di Makassar dengan pesawat carteran.
16 Mei
Kostrad memiliki 20 batalion pasukan di Jakarta.

Sumber : http://sholahudin-achmad.blogspot.com/2006/10/lengsernya-soeharto.html



Prahara 1998, Awal Mula Reformasi Indonesia

Huru-hara bulan Mei 1998 merupakan peristiwa bersejarah yang membawa Indonesia pada babak baru perjalanan bangsa. Peristiwa ini tak dapat dipisahkan dari rangkaian krisis moneter yang telah berlangsung sejak juli 1997 dimulai dari Thailand dan menyebar kebeberapa Negara lain termasuk di Indonesia dan Korea Selatan.
Krisis moneter tersebut berkembang menjadi krisis politik di dalam negeri. Kepercayaan rakyat yang tadinya seratus persen kepada pemerintah mendadak menjadi perlawanan yang mengerikan. Di berbagai wilayah Negara Republik Indonesia bergolak. Mahasiswa dan rakyat bersatu menuntut pemerintahan yang dipimpin oleh Soeharto turun saat itu juga.
Mahasiswa dan segenap civitas akademika diberbagai universitas di Indonesia tidak mau ketinggalan. Demonstrasi besar-besaran digelar diberbagai penjuru tanah air. Demonstrasi yang dimulai sejak bulan Pebruari 1998, semakin berani marak dan berani dengan tuntutan agar harga-harga diturunkan dan agenda reformasi segera dilaksanakan.
Puncak dari demonstrasi tersebut adalah terbunuhnya empat mahasiswa Universitas Trisakti pada tanggal 12 Mei 1998 karena peluru petugas. Kerusuhan tidak dapat dihindari sebagai akibat dari terbunuhnya agen-agen perubahan tersebut dan pada puncaknya 13, 14 dan 15 Mei 1998 meletuslah kerusuhan masal di Jakarta yang disusul kerusuhan di daerah-daerah lain di Indonesia.
Penjarahan dan pembakaran berbagai fasilitas umum terjadi dimana-mana, pembunuhan yang disertai tindakan yang biadab seperti pemerkosaan terhadap etnis tertentu terjadi diberbagai daerah. Keadaan di ibukota Negara Jakarta mencekam begitu juga yang terjadi di daerah-daerah seluruh Indonesia. Salah satu tuntutan yang kemudian muncul pada saat itu adalah turunkan Soeharto dan adili para kroni-kroninya yang dianggap telah bersalah kepada rakyat.
Kerusuhan yang berlangsung beberapa hari tersebut telah banyak memakan korban jiwa dan materi. Bila dibandingkan dengan kerusuhan-kerusuhan sebelumnya kerusuhan Mei 1998 merupakan kerusuhan terburuk yang pernah terjadi di Indonesia. Dalam kerusuhan tersebut, menurut TPGF, korban meninggal sebanyak 1.217 orang, luka-luka 91 orang, dan hilang 31 orang (Fadli Zon, 2009).
Menghadapi demonstrasi yang bertubi-tubi dan kerusuhan yang tidak terkendali atas desakan dari berbagai elemen masyarakat termasuk tokoh-tokoh politik deklarator Ciganjur saat itu seperti Gus Dur, Amien Rais, Megawati Soekarno Putri, Sultan Hamengkubuwono dan lainnya mendesak Presiden Soeharto untuk segera turun dari jabatannya guna menghindari kerusuhan yang lebih besar, Ketua MPR Harmoko yang dua bulan sebelumnya meminta Soeharto untuk kembali memimpin Republik Indonesia karena alasan bahwa seluruh rakyat Indonesia masih menginginkan Soeharto untuk memimpin Indonesia, pada saat itu kembali menarik ucapan bahwa ternyata rakyat Indonesia sudah tidak menginginkan Soeharto untuk memimpin Indonesia dan mengharap Presiden Soeharto segera lengser keprabon.
Sebenarnya pendukung Soeharto saat itu sangat besar, namun untuk menghindari adanya korban jiwa dan materi yang semakin banyak, akhirnya pada tanggal 21 Mei 1998 pukul 09.00 Presiden Soeharto membacakan pidato tentang pengunduran dirinya dan secara konstitusional memberikan jabatan presiden kepada Wakil Presiden BJ Habibie untuk melanjutkan tampuk kekuasaan di Indonesia.
Dari pemerintahan Presiden Habibie inilah kemudian reformasi digulirkan dengan agenda-agenda perbaikan di berbagai bidang kehidupan beebangsa baik sosial, politik, ekonomi, pendidikan maupun pertahanan dan keamanan.

Sumber http://alumnisejarah.ucoz.com/publ/prahara_1998_awal_mula_reformasi_indonesia/1-1-0-3









Jajak Pendapat Timor-Timur

Terlepasnya Timor Timur dari wilayah Republik Indonesia dan kemudian membentuk negara baru (Timor Leste), melahirkan berbagai masalah baru. Masalah utamanya adalah adanya dua pendapat yang saling bertentangan antara Indonesia dan negara-negara luar Indonesia menganggap Timur Timur adalah wilayah yang sebelumnya telah resmi menjadi bagian wilayah Indonesia pada tahun 1976. Karena itu, ketika Timor Timur kemudian memisahkan diri dari Indonesia pada tahun 1999, maka telah terjadi suksesi negara pada waktu itu. Pandangan kedua dari negara-negara lain, termasuk PBB, yang menganggap peristiwa tahun 1976 tersebut adalah tindakan pendudukan dengan kekerasan terhadap wilayah Timor Timur. Karena itu, ketika Timor Timur lepas dari wilayah Indonesia, yang terjadi bukanlah suksesi negara, tetapi “pengembalian kedaulatan”.
Kedua pendapat ini memang akan berkaitan dengan awal mula Indonesia masuk ke wilayah Timor-timur. Saat Itu daerah ini merupakan daeranh jajahann Portugis yang mulai terlupakan negara induknya karena krisis dalam negeri. Kasus Tim-tim juga akan bersentuhan dengan adanya Indikasi pelanggaran HAM yang dilakukan oleh pemerintaha  RI terhadap beberapa aktifis pro kemerdekaan. 






A.    Situasi Timor-Timur sebelum terjadinya disintegrasi tahun 1999?
Pada hari Rabu Tanggal 27 Januari 1999, sesuai Sidang Kabinet Menlu Ali Alatas mengeluarkan sebuah statement yang merupakan sikap dan kebijaksanaan dari pemerintahan Presiden Habibie yaitu bahwa “setelah 22 tahun kita mengalami sejarah kebersamaan dengan rakyat kita di Timor-Timur untuk menyatu dengan kita. Maka kiranya adalah wajar dan bijaksana, bahkan demokratis dan konstitusional bila kepada wakil-wakil rakyat kita yang kelak akan terpilih diusulkan untuk mempertimbangkan agar dapat kiranya Timor-Timur secara terhormat, secara baik-baik berpisah dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Diplomasi pemerintah RI untuk meyakinkan masyarkat Internasional mencapai puncaknya pada tanggal 21 – 23 April 1999, dimana Opsi yang ditawarkan pemerintah yaitu “Otonomi luas” dibawa ke meja perundingan Tripartit di New York yang melibatkan Pemerintah RI, Portugal dan PBB. Tawaran pemerintah RI tersebut berisi 60 pasal, dengan harapan kiranya dapat diterima oleh rakyat Timor-Timur dalam hal ini Fretelin. Hal-hal penting yang ditawarkan pemerintah RI tentang Pemberian Otonomi luas kepada Timor-Timur meliputi antara lain :
1) Timor-Timur akan mempunyai bendera dan bahasa sendiri. Bahasa Indonesia hanya dipergunakan untuk keperluan resmi (sebagai bahasa resmi).
2) Timor-Timur  hanya  mempunyai  Polisi  untuk  menjamin keamanan dan ketertiban (intern) dan tidak ada tentara (militer).
3)   Anggaran  pembangunan  tetap  sama  seperti selama ini, dengan  rincian 93 %  berasal  dari pemerintah pusat dan sisanya 7 % dari pendapatan asli daerah (PAD) Timor-Timur sendiri.
4)   Pemanfaatan/pengalokasian  dana  pembangu-nan tersebut diputuskan atau ditentukan sendiri oleh Pemerintah Daerah Otonomi Khusus Timor-Timur.
5) Pemerintah  pusat  hanya  akan  mengontrol  mata  uang  dan  system  keuangan,  politik luar negeri serta masalah pertahanan dari ancaman luar negeri.
Memang dilihat sepintas, tawaran tersebut sangat menjanjikan buat masa depan Timor-Timur. Namun ternyata tawaran inipun ditolak sehingga tidak ada pilihan lain selain merdeka atau harus melepaskan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh mantan Gubernur Timor-Timur yaitu : Mario Viegas Carrascalao bahwa “ itulah daging yang akan disantap oleh orang Timor-Timur sementara pemerintah pusat hanya kebagian tulangnya. Tapi kalau memang tawaran seperti itupun ditolak, ya memang kemerdekaan jalan keluarnya”.
Dalam sebuah komentarnya, Benedict Anderson seorang pakar masalah Indonesia dari Cornell University Amerika Serikat (1998) mengemukakan bahwa maraknya tekanan terhadap pemerintah Indonesia agar melepaskan Timor-Timur adalah merupakan sebuah keharusan dan kemerdekaan Timor-Timur adalah sebuah sollen yang tidak bisa dibendung lagi.
Memang benar, konflik dan tindak kekerasan merebak dimana-mana, pemerintah RI kehabisan cara untuk mengatasi situasi diwilayah tersebut. Pada akhirnya tanggal 08 Agustus 1998, semua satuan-satuan tempur TNI ditarik dari Timor-Timur.
Terjadilah kekosongan kekuatan “Vacuum of Power” tindak kekerasan semakin merajalela dan banyak memakan korban jiwa.
Pada saat itu muncul dua kelompok kekuatan yang saling berhadap-hadapan. Kelompok pertama adalah mereka yang ingin memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia atau “Pro Kemerdekaan” kelompok ini dibawah kendali, Xanana Gusmao. Kelompok ini membawahi beberapa kelompok perlawanan seperti Falantil (sayap militer Fretelin) dan kelompok bersenjata lainnya yang bergerilya dan tersebar dihutan-hutan belantara Timor-Timur. Kelompok yang kedua adalah mereka yang berjuang ingin tetap bersatu dengan Indonesia atau dikenal dengan kelompok “Pro Otonomi”. Kelompok ini menerima tawaran pemerintah yaitu oleh Eurico Gutteres yang membawahi Milisi Aitarak, Mahidi, Laksaur, Mahadoni, Besi Merah Putih, PPI (Pasukan Pejuang integrasi (dipimpin Joao da Silva Tavares)
Pada tanggal 5 Mei Menteri Luar Negeri (Menlu) Ali Alatas dan Menlu Portugal Jame Gama, bersama sekretaris Jenderal PBB Kofi Anan menandatangani kesepakatan pelaksanaan penentuan pendapat pada tanggal 8 Agustus 1999 di Timor-Timur, di Markas PBB New York. Indonesia tetap bertanggung jawab pada keamanan pelaksanaan tersebut. Indonesia tetap bertanggung jawab pada keamanan pelaksanaan tersebut. Disepakati, tanggung jawabkeamanan akan diserahkan kepada Polri yang dibantu TNI. Hal itu tertuang dalam dua kesepakatan, yaitu:
1.      Kesepakatan tentang modalitas pelaksanaan ppenentuan pendapat melaluli jejak pendapat.
2.      Kesepakatan tentang Polisi (Polri) sebagai penanggung jawab keamanan
(Kuntari, 2008:407)
Pada akhir Agustus suasanan Timtim kembali tidak menentu, terjadi kerusuhan dimana-mana. Kelompok milisi menghadang dan mengepung sekitar 150 staf UNAMET untuk wilayah Ermera yang akan menuju Dili, di Atsabe dan Gleno. Seiring dengan itu, wakil Panglima PPI Eurica Guteres mulai memblokade seluruh akses keluar dari Timtim, baik darat, laut, maupun udara. Keesokan harinya terjadi eksodus besar-besaran warga Timtim. Meski berniat memblokade, namun, Eurico Guterres dan seluruh pasukan PPI tidak menghalang-halangi warga Timtim yang akan eksodus. Kota Dili semakin mencekam. Milisi menyerang markas UNAMET di Balide. Tiga anggota milisi memukuli koresponden BBC News untuk Indonesia Jonathan Head yang terjebak di kantor UNAMET, dengan ditembak senjata laras panjang dan menendang kepalanya. Jonathan terselamatkan oleh rompi yang ia kenakan. Sementara, wartawan lain diberondong dengan peluru.
Pada tanggal 3 September Sekjen PBB menyampaikan hasil jajak pendapat kepada Dewan Keamanan PBB, 344.580 suara menolak otonomi (78,5%), 94.388 suara menerima otonomi (21%), dan 7.985 suara dinyatakan invalid. Terjadi eksodus lagi di kalangan wartawan asing, nasional, maupun local. Muncul daftar dan rencana pembunuhan terhadap 14 tokoh elite politik Timtim. Keesokan harinya, hasil jejak pendapat secara resmi diumumkan di Dili. Sesaat kemudian, terjadi kerusuhan yang bersifat missal di Dili. Salah satu pihak tidak bisa menerima kekalahan, mereka langsung menghamburkan tembakan. Front Bersama untuk Otonomi Timtim (UNIF) protes keras dan menolak hasil jajak pendapat. Mereka mengutuk keras gaya dan cara kerja Unamet yang tidak netral, memihak, bahkan manipulative. Presiden BJ Habibie menyatakan menerima hasil jejak pendapat.

Pada tanggal 10 Oktober terjadi insiden “salah lirik”. Terjadi kontak tembak antara TNI dengan INTERFET di perbatasan desa Mota’ain, kecamatan Tasifeto Timur. Anggota pasukan Brimob, Prada Ari Sudibyo, gugur dengan tiga anggota lain terluka, yaitu Sertu Sudarto, Sertu Agus Susanto, dan seorang warga sipil Alcino Barros. Interfet memasuki wilayah kedaulatan RI dan melesak sekitar 297 meter dari jembatan dan tugu yang bertuliskan “Selamat Datang. Anda memasuki Desa Silawan, NTT” di jembatan Sungai Malilmeak.
Pada tanggal 30 Oktober Pukul 09.00 waktu setempat, Bendera Merah Putih diturunkan dari Timor-Timur dalam upacara yang sangat sederhana dan tanpa liputan. Interfet melarang wartawan untuk meliput acara tersebut, kecuali RTP Portugal. Pada tanggal 31 Oktober pukul 00.00 waktu setempat seluruh prajurit dan perwira TNI meninggalkan perairan Dili. Timor Timur telah lepas dari pangkuan Ibu pertiwi. Secara resmi Tim Tim bukan lagi bagian dari wilayah kedaulatan NKRI.

A.    Keterlibatan Australia terhadap disintegrasi Timor-timur tahun 1999?
Keterlibatan Australia dalam masalah Timor Timur sudah ada sejak wilayah ini dinyatakan jadi bagian Republik Indonesia. Perang Dingin telah membuka jalan bagi Indonesia untuk menyatukan wilayah yang rusuh dan dinyatakan Fretilin sebagai daerah yang merdeka. Saat itu kecenderungan Fretilin jelas condong ke kubu sosialis sehingga mencemaskan negara-negara Barat terutama Amerika Serikat dan Australia. Masuknya Indonesia ke Timtim memang telah menimbulkan masalah sejak tahun 1975. Restu negara besar karena iklim Perang Dingin mengharuskan soal Timtim segera diselesaikan agar tidak membawa instabilitas kawasan Asia Tenggara. Tidak terpikirkan bahwa berakhirnya Perang Dingin telah membuat Indonesia berada dalam posisi rawan. Australia jelas berkepentingan agar Timtim ini juga tidak jadi sumber instabilitas kawasan Asia Tenggara yang jadi zona penyangga keamanannya dari serangan utara.
Sejak awal Australia memahami langkah yang diambil Indonesia untuk menggabungkan kawasan berpenduduk sekitar satu juta itu kedalam negara kesatuan RI. Bahkan secara eksplisit mengakui kedaulatan Indonesia atas Timtim. Namun demikian sikap Australia itu tidak konsisten. Sejak PM John Howard berkuasa dan terjadinya gejolak reformasi di Indonesia sehingga berada pada posisi lemah dalam tawar menawar diplomatik, Howard mendorong agar Indonesia melepaskan Timtim.
Presiden BJ Habibie pada saat itu, tak sadar terpengaruh gagasan Howard yang dilontarkan bulan Desember 1998. Habibie pada bulan Januari 1999 menyatakan Timtim akan diberi dua pilihan otonomi luas atau menolaknya sehingga bisa memilih melepaskan diri dari Indonesia.
Kekacauan setelah jajak pendapat membuat Australia terlibat lebih jauh dengan menekan PBB agar mengijinkan tentaranya masuk Timtim yang saat itu masih sah wilayah Indonesia. Ada beberapa alasan kenapa Australia terlibat dalam masalah disintegrasi Timor-Timur ini, yaitu:


Kepentingan Politik
Isu Timtim sejak lama telah menjadi bagian dari politik dalam negeri Australia. Suara pro dan kontra tentang kebijakan Australia terhadap Indonesia datang silih berganti. Puncaknya, pada masa PM Paul Keating kebijakan Australia terhadap Indonesia sangat dekat. Bahkan hampir-hampir dikatakan bahwa Keating itu adalah salah seorang sahabat Indonesia ditengah masyarakat Australia yang kritis terhadap kekuasaan Presiden Soeharto.
Kepentingan politik Australia yang paling kentara terhadap Timtim pertama-tama adalah menghindari tidak melebarnya konflik di Timtim pada masa tahun 1970-an itu menjadi ancaman bagi wilayah Australia. Negeri Kangguru menghendaki Timtim stabil sehingga hubungan politik RI-Australia tidak terganggu. Oleh karena itu pada masa awal Australia seperti "memihak" Indonesia dengan mengakui batas-batas wilayah di daerah Timtim.  Puncak pengakuan itu adalah disepakatinya pembagian Celah Timor berdasarkan ketentuan yang disepakati kedua pihak oleh Menlu Ali Alatas dan Menlu Gareth Evans. Secara eksplisit adanya pengaturan batas laut di wilayah yang kaya minyak itu menjadikan Australia negara yang pertama mengakui eksistensi Indonesia atas Timtim.
Namun dengan hadirnya PM John Howard sikap Australia berubah total. Mereka mulai menyatakan bahwa Timtim untuk jangka panjang harus merdeka. Australia mulai mengubah kebijakannya atas Timtim dengan dasar bahwa otonomi luas harus diberikan kepada Timtim sebelum merdeka penuh. Sikap ini dilandasi oleh kepentingan jangka panjang Australia terhadap Timtim dan Indonesia. Terhadap Timtim, Australia seolah-olah ingin membalas kesalahan masa lalu dengan mengakui eksistensi Indonesia di Timtim yang sampai tahun 1998 tidak diakui PBB. Australia juga menilai dengan pendekatan ke Timtim diharapkan bisa menanamkan pengaruhnya di wilayah berpenduduk 800.000 jiwa ini.
Kepentingan Australia terhadap Indonesia adalah melakukan unjuk kekuatan politik atas Timtim. Dengan intervensi militer ke Timtim, Australia mengirim pesan kepada Jakarta tentang kemampuan diplomatiknya yang berskala global. Dengan pendekatan kepada Amerika Serikat dan Eropa, Australia dapat Mewujudkan rencananya untuk memaksa masuk ke Timtim di bawah payung PBB.


Kepentingan Ekonomi
Dibalik sikap Australia itu terdapat keinginan menguasai sumber minyak di perbatasan. Akses terhadap energi ini tak bisa disangkal menjadi pendorong semangat Australia campur tangan dalam menangani gejolak di Timtim pasca jajak pendapat. Minyak yang dilukiskan sangat besar kandungannya di perbatasan Timtim-Australia merupakan aset penting bagi perkembangan ekonomi masa depan negeri Kangguru. Mudrajad Kuncoro, kandidat PhD University of Melbourne, dalam diskusi 22 Oktober 1999 menjelaskan, keterlibatan Australia tak lepas dari isu klasik money and power. Ia menilai, Australia mau membantu Timtim bukan untuk membalas jasa rakyat Timtim yang pernah membantu mencegah invasi ke Australia saat Perang Dunia II, melainkan punya kepentingan bisnis yang dikemas dengan wadah humanis. Mudrajat menulis, "Kalau Australia memang pejuang hak-hak asasi manusia dan humanis tulen, hal pertama yang dilakukan sebelum terjun ke Timtim adalah meminta maaf dan memberi referendum kepada suku Aborigin yang nasibnya mirip dengan suku Indian di Amerika Serikat”.
Menurut Mudrajad, kesepakatan Celah Timor (Timor Gap) yang ditandatangani Indonesia-Australia tahun 1989 menyetujui pembagian 62.000 km persegi zona kerja sama  menjadi tiga wilayah. Wilayah joint development merupakan wilayah yang berada di tengah dan
terbesar dimana kedua negara berhak mengontrol eksplorasi dan produksi migas. Dua zona lainnya dibagi secara tidak merata yang masing-masing negara secara terpisah diberi hak mengatur dan menguasainya. Sampai sekaran dari 41 sumur yang telah dibor di zona kerja sama, sekitar 10 ditemukan cadangan migas. Secara ekonomis, kelayakannya relatif kecil. Namun kandungan gas dan hidrokarbon tidak bisa diabaikan. Sebagai contoh, tulis Mudrajad, di ladang Bayu-Undan, ditaksir punya cadangan minyak 400 juta barel, tiga trilyun kubik gas alam dan 370 juta barel cairan (kondensat dan LPG).
Menurut Oil & Gas Joournal edisi 1999, cadangan hidrokarbon ini dinilai paling kaya di luar Timur Tengah dan merupakan ladang minyak terbesar Australia di luar selat Bass, Menurut Mudrajad, sejumlah perusahaan Amerika, Australia, Belanda sudah aktif di wilayah Celah Timor ini. Di Ladang Bayu-Undan, kerja sama perusahaan AS Phillips Petroleum Co. dan
perusahaan tambang Australia, Broken Hill Propietary (BHP Ltd., mencanangkan akan beroperasi penuh mulai tahun 2002).
Nick Beams dalam World Socialist Web Site (1999) menyebutkan pula kepentingan Australia akan minyak. Ia menyebutkan awal 1990 kepentingan Portugal bangkit kembali ke Timtim setelah ditemukan cadangan minyak yang nilainya diperkirakan antara 11 sampai 19 milyar dollar AS. Tahun 1991, Portugal mengadukan Australia ke Pengadilan Internasional karena menandatangani perjanjian Celah Timor bulan Desember 1989. Beams mengutip pernyataan Portugal yang menyebutkan, "Perjanjian itu dirancang untuk mendapatkan minyak Timtim yang melebihi kepentingan lainnya. Hanya kerakusan (Australia) seperti itu dapat menjelaskan pengakuan secara de jure aneksasi oleh kekuatan yang memakan korban 100.000 tewas." Namun Beams juga melihat, perilaku Portugal itu juga dimotivasi oleh ketamakan serupa yang dilakukan Australia terhadap sumber minyak.Portugal lalu berusaha merebut kembali wilayah Timtim yang dikuasai Indonesia dengan mendorong penentuan nasib sendiri rakyat Timtim.

C.    Peranan PBB Terhadap Disintegrasi Timor-Timur tahun 1999?
Pertentangan antara kedua kelompok ini makin parah, PBB turun tangan dengan menyerukan agar para pihak yang bertikai mengehentikan dan mengakhiri tindakan kekerasan.
Penyelesaian diplomatik berjalan terus meskipun tersendat-sendat, nasib Timor-Timur menjadi tidak jelas, namun dalam pertemuan Tripartit di New York antara Pemerintah Republik Indonesia, Portugal dan PBB diperoleh kesepakatan mengenai status dan masa depan Timor-Timur yang dikenal dengan “New York Agreement – 5 Mei 1999”. Dimana Pemerintah RI bertanggung jawab atas keamanan diwilayah Timor-Timur dan akan dilakukan “Jajak Pendapat” guna mengetahui keinginan dari masyarkat yang sebenarnya guna dijadikan pertimbangan bagi pengambilan keputusan untuk menyelesaikan masalah Timor-Timur.
Sesuai isi kesepakatan Tripartit di New York maka untuk melancarkan proses jajak pendapat PBB membentuk sebuah badan yang namanya UNAMET (United Nations Missions in East Timor) yaitu misi PBB untuk Timor-Timur yang bertugas sebagai pelaksana dan pengawas jajak pendapat. UNAMET ini dikepalai oleh Ian Martin, pelaksanaan jajak pendapat sendiri diawali dengan proses pendaftaran selama sekitar 20 hari yang mulai tanggal 16 Juli dan berakhir pada tanggal 06 Agustus 1999.
Pelaksanaan Jajak Pendapat, dibawah pengawasan misi PBB untuk Timor-Timur (UNAMET) diawali dengan proses pendaftaran Pemilih di 200 tempat di Timor-Timur dan 6 (enam) kota besar di Indonesia serta di Amerika Serikat, Australia, Portugal, Macau & Mazambik. Pendaftaran dimulai tanggal 16 Juli dan berlangsung selama 20 hari, dari 452.000 pemilih yang terdaftar, 438.817 Orang berdomisili di Timor-Timur dan sisanya di propinsi lain di Indonesia dan beberapa Negara lain di dunia. Pelaksanaan jajak pendapat tgl. 30 Agustus 1999 yang dimulai serentak diseluruh Indonesia maupun diluar negeri. Keberadaan UNAMET, sebagai pelaksana jajak pendapat berdasarkan persetujuan New York (New York Agreement) antara Pemerintah Republik Indonesia, Portugal dan PBB tanggal 05 Mei 1999.
Pengumuman hasil jajak pendapat yang dilaksanakan oleh PBB diumumkan langsung dari New York, pada awal September dengan hasil perolehan suara 78,5 % memilih merdeka, sedangkan sisanya ingin tetap bergabung dengan Indonesia. Bagi PBB dan masyarakat Internasional hasil jajak pendapat sangat kredibel karena hal itu merupakan ungkapan keinginan dan rakyat Timor-Timur untuk memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dewan keamanan menunjuk Australia sebagai pemimpin pasukan tersebut, hal ini membuat reaksi pemerintah Indonesia untuk membatalkan Perjanjian Persetujuan Keamanan antar RI dan Australia yang ditandatangani tanggal 18 Desember 1995. Reaksi keras Pemerintah RI ini merupakan jawaban atas keterlibatan Australia dalam seluruh rangkaian proses disintegrasi Timor-Timur. Dengan pembatalan perjanjian persetujuan keamanan ini maka hubungan antara RI dan Australia sudah berada pada posisi yang sangat tidak menguntungkan bagi kedua negara.
Keberadaan pasukan perdamaian PBB saat ini terbilang unik karena ada kecenderungan makin banyak negara yang memanfaatkan keberadaan institusi PBB dalam menghadapi berbagai masalah/konflik baik intern maupun regional antar etnis maupun konflik-konflik politik lainnya. Konsep pasukan perdamaian merupakan bagian dari sistim keamanan kolektif yang dimiliki PBB, namun demikian ada beberapa konsep lain yang mempunyai tujuan, cara, personel, otorisasi, komando, kedaulatan dan cara penggunaan kekuatan yang berbeda yaitu :
1)   Peace Making (menciptakan perdamai-an).
2)   Peace Keeping (memelihara perdamaian).
3)    Peace Enforcement (menegakkan perdamaian).
Masing-masing konsep berbeda satu sama lainnya, yaitu : Peace Keeping dan peace Eforcement membutuhkan otorisasi dari Dewan Keamanan atau Majelis Umum PBB sedangkan peace Making tidak memerlukan otorisasi seperti itu. Hal ini membawa akibat adanya perbedaan pada konsep/pola pelaksanaannya dimana Peace Keeping bisa menggunakan kekerasan hanya untuk membela diri, sedangkan peace Enforcement berhak menggunakan kekerasan senjata dalam menegakkan perdamaian.
Dalam hal penggunaannya, untuk misi peace Making harus ada persetujuan dari para pihak yang bertikai, termasuk dalam katagori ini adalah peace Keeping dan humanitarian intervention (intervensi untuk kemanusiaan). Sedangkan untuk peace enforcement tidak diperlukan persetujuan dari pihak yang bertikai karena sepenuhnya menjadi wewenang dari Dewan Keamanan dan Majelis Umum PBB.
Dalam kasus Timor-Timur Dewan kemanan dan Majelis Umum PBB menggelar kekuatan dengan 8000 personil untuk menciptakan perdamaian (Peace Making) diantara pihak yang bertikai yaitu antara kelompok Pro kemerdekaan dan Prointegrasi. Pasukan ini dikenal dengan nama INTERVET (International Forces For East Timor), dengan kekuatan 8000 personil (4.500 pasukan Australia dan sisanya dari negara lain/partisipan) dibawah pimpinan Mayjen Peter Cosgrove dari Australia. Tugas intervet adalah untuk menciptakan/memulih kan kondisi dan situasi keamanan di Timor-Timur seperti semula guna menyiapkan langkah-langkah tindak lanjut bagi PBB untuk membentuk Pemerintahan Transisi PBB di Timor-Timur.

D.    Disintegrasi Timor-Timur Ini Jika Dilihat Dari Implikasi Yuridis
A.    Unsur-unsur terbentuknya suatu Negara
Dalam hukum Internasional eksistensi sebuah negara yang berdaulat harus memenuhi syarat bahwa harus ada wilayah, penduduk/rakyat, pemerintah yang otonom dan efektif serta adanya pengakuan dari negara lain terutama masyarakat Internasional. Khusus berkaitan dengan pengakuan, hal ini lebih dipengaruhi oleh kepentingan politik (unsur politik) dari negara yang akan mengakui atau tidak eksistensi suatu negara. Bagi negara yang mempunyai kepentingan tertentu, begitu ada sebuah wilayah yang sebagian rakyat ingin memisahkan diri maka didukung sepenuhnya.
Sehingga begitu terpisah langsung diakui sebagai negara, sedangkan bagi negara lain yang kepentingan berlawanan/tidak mempunyai kepentingan apapun tidak mengakui keberadaan negera tersebut.
Namun, untuk saat ini masalah pengakuan bukanlah hal yang prinsip yang penting bahwa sebuah negara harus memiliki wilayah, rakyat dan pemerintah yang berdaulat. Unsur pengakuan sangat subyektif tergantung pada kepentingan masing-masing pihak. Menurut teori, ada 2 (dua) konsep yang saling bertentangan yaitu :
1)   Teori pengakuan kons-titutif (Constitutive theory of reeognation). Bahwa suatu negara/pemerintahan baru yang sebelumnya sudah diakui sebagai negara secara legal belum aksis sebelum diakui oleh negara lain. Theori ini melahirkan permasalahan yaitu bagaimana menentukan jumlah negara yang diperlukan untuk menentukan kelahiran suatu negara secara legal. Maka hal ini tentunya sangat bergantung dari kepentingan dari negara-negara lainnya untuk memberikan pengakuan atau tidak, karena tidak ada unsur paksaan dan sifatnya adalah suka rela.
2)    Teori Pengakuan Deklaratif (Declarative Theory of Recognation). Bahwa suatu negara atau pemerintah yang baru dianggap eksist melalui penerapan pengujian yang obyektif seperti kemampuan pemerintah untuk memulihkan dan mengontrol penduduknya tanpa menghiraukan apakah negara lain mengakuinya atau tidak.
Pengakuan akan dipandang sebagai politis yang sangat subyektif dimana diawali dari adanya kepentingan masing-masing pihak secara subyektif kemudian dikembangkan dengan kontak diplomatik secara formal. Teori pengakuan deklaratif lebih realistis dan saat ini banyak digunakan dalam praktek bernegara oleh masyarakat Internasional.
Pada masa lalu pengakuan dibedakan atas pengakuan de fakto dan de yure. Pengakuan secara de fakto adalah pengakuan menurut fakta, tanpa dipengaruhi atau terikat kepada hal-hal formal. Pengakuan de fakto berlangsung dalam situasi dimana suksesi pemerintah muncul secara inkonstitusional dan tidak reguler tapi pemerintah baru tersebut mampu sepenuhnya mengontrol wilayah dan penduduk negara tersebut. Hal ini disebut “Provicional Reeognation” atau pengakuan sementara terhadap fakta tanpa mengimplikasikan adanya dukungan dan persetujuan Internasional.
Pengakuan de yure atau pengakuan menurut hukum hal ini menyangkut hubungan diplomatik penuh atau normal dan direalisasikan dalam bentuk-bentuk perjanjian lainnya seperti bilateral, regional dan multilateral.

B.     Implikasi Yuridis terhadap Masyarakat Internasional
Disintegrasi Timor-Timur dari Negara Kesatuan Republik Indonesia, disambut gembira oleh masyarakat Internasional dan PBB, khususnya negara-negara yang sejak semula menentang integrasi Timor-Timur ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Amerika Serikat, Inggris, Belanda, Portugal, Australia, Selandia Baru dan beberapa negara lainnya merupakan contoh negara yang sejak lama memperjuangkan disintegrasi Timor-Timur. Berbagai LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) di negara-negara tersebut menyokong bantuan dana dan menciptakan opini dunia tentang pelanggaran hak asasi manusia di Timor-Timur dan menghalang-halangi upaya diplomatik pemerintah RI di luar negri.
Dengan keluarnya Timor-Timur dari Negara Kesatuan Republik Indonesia, maka bagi masyarakat Internasional dan PBB hal ini memiliki arti penting karena komunitas masyarakat Internasional bertambah. Hal ini membawa implikasi politik global bagi PBB, dimana negara-negara lain akan mempertimbangkan hal-hal yang berkaitan dengan hubungan diplomatik, hubungan dagang dan berbagai bentuk kerjasama lainnya yang saling menguntungkan bagi masing-masing pihak. Suara umum, masyarakat Internasional akan menjalin berbagai bentuk kerjasama dengan Timor Leste sesuai kepentingan masing-masing.
Namun demikian dari sisi lain keberadaan Timor Leste sebagai sebuah negara yang berdaulat sangat menjanjikan/menguntungkan bagi negara-negara yang mempunyai kepentingan tertentu, seperti Australia, Portugal, Amerak Serikat dan Selandia Baru. Kepentingan negara-negara tersebut dapat mencakup segala aspek kehidupan seperti kepentingan politik, kepentingan militer/pertahanan, kepentingan ekonomi dan lain-lain.
Secara yuridis dengan lahirnya sebuah negara baru Timor Leste, maka negara tersebut mempunyai hak dan kewajiban seperti sebanyak hukum Internasional lainnya. Dimana harus tunduk kepada segala ketentuan dan praktek-praktek hukum yang menjadi kebiasaan Internasional. Bahwa Timor Leste akan memiliki pemerintah yang berdaulat, wilayah dan integritasnya serta rakyat.

C.    Dampak Hukum Terhadap Pemerintah Republik Indonesia.
Bagi Pemerintah Republik Indonesia, terlepasnya Timor-Timur dari Negara Kesatuan Republik Indonesia menunjukkan bahwa gagalnya pemerintah Republik Indonesia untuk mempertahankan integritas/keutuhan wilayah dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Setelah hampir 24 tahun pemerintah Republik Indonesia menggerakkan seluruh kemampuannya untuk membangun Timor-Timur, triliunan dana pembangunan telah dikucurkan untuk membangun wilayah ini, ribuan nyawa telah dipertaruhkan untuk mempertahankan wilayah ini dan tidak terhitung sarana dan prasarana yang telah dibangun namun semuanya itu tidak mampu merangkul dan mempertahankan Timor-Timur.
Kucuran dana pembangunan, ribuan nyawa yang dipertaruhkan, sarana dan prasarana yang ada seakan terbuang begitu saja dan tak ternilai harganya. Semuanya belum mampu meyakinkan masyarakat Internasional dan PBB. Tuntutan, kecaman dan tekanan PBB dan masyarakat Internasional selalu mengacu kepada resolusi Majelis Umum PBB Nomor : 384 yang menyerukan agar Indonesia segera menarik seluruh angkatan dan persenjataannya dari Timor-Timur. Hal ini diperkuat dengan seruan dan Komisi Hak Asazi Manusia PBB yang menuntut Indoneia agar memberikan Hak Kemerdekaan bagi Timor-Timur. Insiden Santa Cruz pada 12 Nopember 1991 menjadi puncak kemarahan dunia dan masyarakat Internasional dan di bulan Agustus 1992, Majelis Umum PBB menggunakan resolusi pertama yang mengecam pemerintah Indonesia atas pelanggaran hak asazi manusia di Timor-Timur.
Menyadari akan kuatnya tekanan dan tuntutan dari PBB dan masyarakat Internasional, semula pemerintah Indonesia menawarkan opsi “Otonomi luas” kepada Timor-Timur dimana, akan mempunyai bendera dan bahasa sendiri, tentara/pasukan militer ditarik dan hanya ditempatkan polisi, diberi kesempatan untuk mengelola/memanfaatkan sendiri dana pembangunan dari pemerintah pusat. Namun hal inipun belum cukup dan ditolak sehingga tidak ada pilihan lain selain “merdeka” atau memisahkan diri dari NKRI.
Tawaran merdeka itu sudah pilihan terakhir bila opsi pertama tentang otonomi luas ditolak oleh Fretelin dan Portugal. Hal ini terbukti dengan hasil jajak pendapat tanggal 30 Agustus 1999 dimana mayoritas penduduk Timor-Timur (78,5 %) menginginkan merdeka. Dengan demikian tamatlah riwayat Timor-Timur sebagai Propinsi ke-27 Republik Indonesia berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1976.
Secara yuridis, disintegrasi Timor-Timur dari Negara Kesatuan Republik Indonesia membawa dampak sebagai berikut :
1)   Pengamanan dan kelanjutan dari aset-aset pemerintah yang ada di Timor-Timur.
2)   Masalah kelanjutan dari perjanjian antara RI dengan pemerintah Australia tentang pengelolaan zona kerjasama didaerah antara Propinsi Timor-Timur dan Australia bagian Utara (Timor GAP).
3)   Penetapan batas-batas wilayah darat, laut dan udara termasuk menyiapkan suatu ruang laut dan udara khusus untuk daerah kantong Timor-Timur ke dan dari Oekusi (Mabeno).
4)   Mengingat Selat Ombai adalah termasuk dalam ALKI maka harus dibuat kesepakatan bilateral untuk menentukan batas laut teritorial dan ALKI yang baru.
5)   Kelanjutan dari bentuk perjanjian/-kerjasama lainnya baik bilateral, regional maupun multilateral yang berkaitan dengan keberadaan Timor-Timur sebagai propinsi yang ke-27.
Sejumlah implikasi tersebut diatas dengan sendirinya menjadi permasalahan yang harus diatasi dan diperoleh oleh pemerintah RI. Hal ini termasuk masalah yang menjadi tuntutan masyarakat Internasional yaitu “mengadili pelanggar HAM di Timor-Timur”.

D.    Pengakuan Masyarakat Internasional.
Pengakuan masyarakat Internasional terhadap eksistensi Timor Leste secara beragam, Amerika Serikat, Inggris, Australia, Portugal, Selandia Baru, Belanda dan beberapa negara lainnya sudah dipastikan mengakui eksistensi negara Timor Leste. Sementara negara lainnya masih bersikap dingin menanggapi keberadaan Timor Leste. Bagi Republik Indonesia sendiri secara de fakto sudah mengakui Timor Leste, hal ini terwujud dengan kunjungan Presiden Abdulrahman Wahid ke Timor Leste pada tanggal 29 Pebruari 2000. Pada kunjungan tersebut ditawari dan diperoleh kesepakatan untuk membuka lembaga dagang dan lembaga diplomatik resmi antar kedua negara.
Dengan demikian, maka sekalipun tidak melalui proses formal lainnya namun secara diam-diam pemerintah RI sudah mengakui eksistensi Timor Leste sebagai suatu negara yang berdaulat. Walau demikian ada hal yang tidak bisa dipisahkan begitu saja karena secara geografi, sosial maupun budaya antara Timor Leste dan Republik Indonesia memiliki persamaan baik sejarahnya maupun perkembangannya. Disisi lain keberadaan Timor Leste sendiri yang sebelumnya dalah bagian integral dari NKRI karena pernah sebagai propinsi yang ke-27 selama 27 tahun.
Saat ini secara yuridis, Timor Leste memang belum sebagai suatu negara karena pemerintahannya masih berbentuk pemerintah transisi PBB di Timor-Timur (UNTAET) yang dikepalai oleh Sergio Vierre de Mello. Namun secara de fakto Timor-Timur sudah merupakan suatu negara yang baru, karena terpisah dari NKRI dan sudah mempunyai hak dan kewajiban sebagai masyarakat Internasional. Disisi lain, Timor Leste sudah memiliki : rakyat, wilayah dan pengakuan dari masyarakat Internasional sedangkan untuk pemerintahannya saat ini masih dibawah kendali PBB yaitu UNTAET (United nation Transition Administration in East Timur). Tugas UNTAET adalah menyiapkan segala sesuatunya yang berkaitan dengan pelaksanaan administrasi dan roda pemerintahan di Timor Leste agar kelak dapat mandiri dalam melaksanakan dan mengendalikan roda pemerintahan sebagai sebuah negara yang merdeka dan berdaulat.

E.     Sikap pemerintah Indonesia dalam menghadapi pelanggaran HAM di TimorTimur
tahun 1999
Pemerintah Republik Indonesia menilai kasus pelanggaran hak azasi manusia menjelang dan pasca jajak pendapat 1999 di Timor Timur selesai dengan penyerahan laporan akhir Komisi Kebenaran dan Persahabatan (KKP) dan tidak akan mengarah kepada proses hukum, baik nasional maupun internasional. Dari sisi kedua negara, masalah itu (kasus 1999) telah dianggap selesai. Tokoh prointegrasi Timor Timur, Eurico Guterres, menegaskan, dirinya masih tetap mencintai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), meskipun harus menjalani hukuman penjara selama dua tahun atas tuduhan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat di Timor Timur pasca Referendum 1999. Selanjutnya Presiden Yudhoyono, Horta dan PM Xanana menandatangani pernyataan bersama pemerintah RI dan Republik Demokratik Timor Leste yang terdiri dari 14 poin yang antara lain berisi bahwa kedua pemerintahan menyatakan penyesalan yang mendalam seluruh pihak dan korban akibat pelanggaran HAM serius yang terjadi menjelang dan setelah jajak pendapat.
Kedua pemerintahan juga menyatakan komitmen untuk sungguh-sungguh melaksanakan rekomendasi komisi dan inisiatif lain bagi kemajuan persahabatan dan rekonsiliasi diantara warga kedua negara. Rekomendasi-rekomendasi tersebut akan diintegrasikan dalam suatu rencana aksi yang akan diagendakan oleh komisi bersama tingkat menteri untuk kerjasama dwipihak. Sementara itu Menteri Luar Negeri RI Hassan Wirajuda mengatakan, kasus pelanggaran hak asasi manusia menjelang dan pasca jajak pendapat 1999 di Timor Timur secara resmi ditutup setelah penyerahan laporan KKP Indonesia-Timor Leste kepada dua kepala negara terkait.
Dengan adanya hasil KKP ini maka pelanggaran HAM menjelang dan sesudah jajak pendapat 1999 ditutup dan tidak dimaksudkan untuk diikuti dengan proses hukum lanjutan. KKP adalah sebuah lembaga yang dibentuk Pemerintah Indonesia dan Timor Leste untuk mencari titik terang kerusuhan pasca Jajak Pendapat Timor Timur 1999. KKP dibentuk 9 Maret 2005 dan anggotanya dilantik pada tanggal 14 Agustus 2005 dan berkedudukan di Denpasar, Bali. Lembaga ini terdiri dari 10 orang masing-masing 5 dari Indonesia dan 5 dari Timor Leste dan 2 koordinator masing-masing 1 dari Indonesia dan Timor Leste.
Anggota dari Indonesia adalah Benjamin Mangkoedilaga (koordinator), Ahmad Ali, Wisber Loeis, Mgr. Petrus Turang, dan Agus Widjojo. Sementara anggota dari Timor Leste adalah Jacinto Alves (koordinator), Dionosio Babo, Aniceto Guterres, Felicidade Guterres, dan Cirilio Varadeles. Selama bertugas KKP berupaya untuk mengungkap tiga kasus yang terjadi sebelum dan paska jajak pendapat di Timor Timur tahun 1999 , yaitu kasus pembunuhan di Gereja Liquic`a, perusakan rumah Manuel Carrascalao, dan kerusuhan Santa Cruz. Beberapa tokoh yang telah didengar keterangannya oleh KKP diantaranya, mantan Menlu Ali Alatas, Mantan Presiden BJ Habibie, Mantan Panglima ABRI Wiranto, Mantan Uskup Dili Carlos Felipe Ximenes Belo, Mantan Kepala Badan Intelijen ABRI Mayjen (Purn) Zacky Anwar Makarim, Mantan Komandan Korem Wiradharma Dili Mayjen Suhartono Suratman, dan Mantan Panglima Kodam IX Udayana Mayjen (Purn) Adam Damiri. KKP tidak bermaksud menindaklanjuti penemuannya secara hukum karena seluruh kasus pelanggaran HAM menjelang dan sesudah jajak pendapat 1999 di Timor Timur telah ingkrah secara hukum sehingga tidak dapat diajukan kembali ke pengadilan.
Warga eks Timor Timur di Nusa Tenggara Timur (NTT) menolak hasil Komisi Kebenaran dan Persahabatan (KKP) yang meminta militer Indonesia, Polri dan pemerintah sipil Indonesia bertanggungjawab atas insiden berdarah pasca jajak pendapat 1999 di wilayah bekas provinsi ke-27 Indonesia itu. Mantan Wakil Panglima Pejuang Integrasi (PPI) Timtim, Eurico Guterres di Kupang, Senin, mengatakan, warga eks Timtim yang memilih menjadi WNI menolak hasil KKP tersebut, karena yang lebih bertanggungjawab atas semua insiden di Timtim adalah PBB, dalam hal ini UNAMET sebagai lembaga penyelenggara jajak pendapat.
Dalam dokumen setebal 300 halaman itu, KKP menyebutkan bahwa militer, polisi dan pejabat sipil Indonesia bersalah atas pembunuhan, penyiksaan dan pelanggaran HAM yang terorganisir seusai jajak pendapat warga Timtim yang memilih melepaskan diri dari Republik Indonesia. Komisi yang dibentuk secara bilateral pada 2005 itu juga mengungkap ada tanggungjawab institusional atas pembunuhan, penyiksaan, perkosaan, dan penangkapan secara ilegal terhadap para pendukung kemerdekaan Timtim. Dalam kaitan dengan itu, KKP merekomendasikan agar Indonesia minta maaf kepada rakyat Timor Leste dan membantu menyembuhkan luka mereka. Eurico Guterres yang juga Ketua DPW Partai Amanat Nasional (PAN) NTT itu dengan tegas menolak rekomendasi tersebut seolah-olah Indonesia adalah bangsa yang tidak bermartabat dan tidak berwibawa sehingga harus meminta maaf kepada rakyat Timor Leste. Ia juga menilai KKP tidak adil dalam menelusuri pelanggaran HAM di Timtim, karena fokusnya hanya pada insiden 1999 pasca jajak pendapat. "KKP juga harus melakukan pemeriksaan secara menyeluruh pembunuhan terhadap sekitar 600 ribu warga Timtim oleh Fretilin pada 1975. Apakah ini bukan pelanggaran HAM berat sehingga KKP hanya memberi fokus pada insiden 1999," katanya dalam nada tanya.


KESIMPULAN

Disintegrasi Timor-Timur dari Negara Kesatuan Republik Indonesia secara hukum adalah syah sesuai dengan New York Agrement yang mengumumkan hasil jajak pendapat yang diawasi oleh sebuah Badan PBB UNAMET (United Nations Mission of East Timor) mulai tanggal 16 Juli 1999 sampai tanggal 06 Agustus 1999 selama 20 hari. Pengumuman jajak pendapat diumumkan langsung dari New York pada awal September 1999 dengan hasil perolehan suara 78,5 % memilih merdeka.
Akibat  Hukum   bagi   Pemerintah   Republik  Indonesia  yang  mengesyahkan  Timor-Timur  sebagai
a)   Propinsi ke 27 adalah sebagai berikut :
Pemerintah selalu ditekan dan dikecam oleh PBB dan masyarakat Internasional, agar melepaskan Timor-Timur dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.
b)  Banyak terjadi pelanggaran Hak Azasi Manusia di Timor-Timur sehingga Majelis PBB mengeluarkan Resolusi yang mengecam Pemerintah Republik Indonesia.
c)  Pemerintah Indonesia menghadapi Embargo Bantuan Militer dari Amerika serikat, Inggris, Australia dan Eropa daratan yang tidak menyetujui integrasi Timor-Timur kedalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.





Perkosaan dan Kekerasan Seksual dalam konteks Jajak  Pendapat di Timor-Timur pada tahun 1999 
 Pertama-tama yang ingin saya katakan disini adalah bahwa kesaksian ini saya lakukan atas nama pribadi, dan tidak mewakili organisasi manapun. Ada persoalan mendasar dimana kebanyakan organisasi hak asasi manusia, baik di Indonesia dan Timor-Leste, menolak untuk bekerja sama dengan KKP karena adanya kemungkinan untuk merekomendasi amnesti pada pelaku kejahatan berat, dan tidak adanya kemungkinan untuk merekomendasi proses pengadilan, sehingga ada resiko besar bahwa KKP akan menjadi sebuah mekanisme impunitas. Impunitas untuk kejahatan berat tidak hanya melanggar kewajiban hukum internasional tetapi menjadi salah-satu hambatan untuk demokratisasi di Indonesia. Tetapi karena saya berharap bahwa sedikit kebenaran tentang pelanggaran berat yang terjadi di Timor-Timur waktu itu dapat terungkap pada publik di Indonesia, maka saya berada disini sekarang.  Saya mulai bekerja untuk penguatan NGO lokal di berbagai wilayah konflik di Indonesia, khususnya di Indonesia Timur, pada pertengahan tahun 1990an. Pada tahun 1997, saya memfasilitasi sebuah lokakarya di Dili yang berakhir dengan didirikannya sebuah organisasi perempuan yang bernama Forum Komunikasi Perempuan Lorosae (Fokupers.) Pada bulan Juni 1999, pada saat kekerasan semakin meningkat di Timor-Timur, saya bergabung dengan upaya memberi bantuan kemanusiaan yang dilakukan oleh masyarakat sipil, termasuk organisasi-organisasi kemanusiaan dari Jakarta, untuk membantu pengungsi internal yang pada waktu itu jumlahnya sudah mencapai 60,000-80,000 orang. Saya berada di Timor-Timur sampai tanggal 6 September, dan terpaksa meninggalkan Dili dengan pesawat pengungsi ke Kupang, karena situasi keamanan yang tidak lagi dapat menjamin keselamatan saya, maupun keselamatan siapapun. Saya kembali ke Dili, sebulan kemudian, awal Oktober 1999, bergabung dengan tim Oxfam Internasional yang menjalankan program emergency.  Kemudian, bersama-sama Fokupers, kami mendesain dan menjalankan sebuah program rehabilitasi untuk korban kekerasan terhadap perempuan. Dalam kapasitas ini, saya bersama-sama dengan staff dan relawan Fokupers bertemu, mendokumentasi dan melakukan pendampingan pada lebih dari 100 korban-korban perempuan, termasuk korban perkosaan dan kekerasan seksual lainnya. Setahun kemudian, saya bekerja pada bagian HAM di UNTAET, dan kemudian bergabung dengan Komisi Penerimaan, Kebenaran dan Rekonsiliasi (CAVR) sebagai wakil direktur dan manajer program. Secara konsisten dari tahun 1999 s/d 2005, saya mempelajari persoalan kekerasan terhadap perempuan yang terjadi di Timor-Timur dalam konteks konflik, sekaligus belajar, bersama dengan teman-teman perempuan disana, bagaimana mendampingi korban.   Sulit untuk saya mengungkapkan semua yang saya ketahui dan alami selama lebih dari 6 tahun di Timor-Timur dalam waktu 20 menit. Tetapi saya akan mencoba mengungkapkan beberapa kasus yang saya tahu secara dekat, dan juga pola yang saya pahami berkaitan dengan kekerasan yang terjadi sekitar jajak pendapat.  

Kasus Lolotoe: contoh kasus kerjasama aparat militer dan milisi 
Saya, bersama tim Fokupers, pertama mendengar informasi tentang sebuah kasus perkosaan, yang dilakukan oleh Danramil Kecamatan Lolotoe, bersama-sama anggota milisi, dari seorang biarawati yang bekerja di Kabupaten Bobonaro. Setelah membuat pendekatan dengan seorang korban, sebut saja Saksi A, yang waktu itu menderita sakit, kami mengajak korban untuk tinggal di rumah aman yang dikelola oleh Fokupers untuk mendapatkan pelayanan kesehatan dan konseling. Ia dan saksi korban lainnya menceritakan tentang apa yang terjadi.   Pada sekitar bulan Mei 1999, Saksi A dan 2 orang perempuan lainnya, dibawa dari desanya, desa Gouda, ke ibukota kecamatan Lolotoe, oleh milisi KMP [Kaer Metin Merah Putih, bahasa Tetun berarti “pegang-erat Merah Putih”] yang beroperasi bersama-sama dengan aparat TNI. Mereka diambil dari rumah mereka oleh Komandan milisi KMP, yang waktu itu memakai seragam TNI dan membawa granat. Awalnya mereka dibawa ke rumah Kepala Desa Gouda selama 1 minggu, tetapi kemudian dipindahkan dan ditahan bersama 13 anggota masyarakat lainnya di gedung PKK, yang letaknya berseberangan dengan Kantor Koramil. Mereka kemudian dipindahkan lagi ke rumah salah-seorang komandan milisi KMP. Selama waktu itu mereka dipaksa untuk melakukan pekerjaan rumah tangga, dan beberapa kali dipaksa untuk mengikuti pesta-pesta dansa yang diorganisir oleh KMP, dimana aparat militer, termasuk Danramil, terlibat secara langsung. Sekitar tanggal 27 Juni 1999, ketiga perempuan ini diambil secara paksa dari rumah tersebut oleh komandan KMP, seorang petugas kesehatan, dan dimasukkan  kedalam “ambulans” Puskesmas, dan dibawa ke sebuah hotel di Atambua. Disana ketiga perempuan ini diperkosa, selama beberapa hari,  masing-masing oleh Danramil, si komandan milisi, dan si petugas kesehatan. Salah-seorang korban disuntik kontrasepsi terlebih dahulu sebelum diperkosa. Pada ada saat hari-hari kejadian itu si komandan KMP membawa senjata AK-47, dan Danramil mengenakan seragam TNI.  Perkosaan ini terjadi dalam sebuah konteks kekerasan yang sistematis dan meluas terhadap masyarakat sipil yang tidak bersenjata. Para korban mengungkapkan bagaimana Komandan milisi KMP bisa beraksi menangkap masyarakat, menahan masyarakat di dalam kompleks Koramil atau berdekatan dengan Koramil, dan tidak ada tindakan terhadap pelaku, bahkan yang terjadi  adalah dukungan dan partisipasi. Dalam salah-satu kejadian yang sangat mengerikan pada bulan Mei 1999, seorang pendukung CNRT diserang oleh milisi KMP, dan kemudian telinganya dipotong, lalu, korban dipaksa untuk memakan daun telinganya sendiri. Sesudah pengumuman hasil jajak-pendapat, milisi KMP, bersama-sama aparat TNI, melakukan penyerangan yang mengakibatkan sejumlah korban jiwa.  Saya mengetahui informasi tentang kasus ini karena saya terlibat langsung dalam proses pendampingan dan wawancara dengan korban A, serta wawancara 2 korban lainnya. Selain itu, kasus ini juga ada dalam laporan CAVR. Pengadilan untuk kejahatan berat di Dili telah mengadili kasus ini. Pada tanggal 5 April 2003, sebuah keputusan pengadilan menetapkan bahwa telah terjadi pembunuhan, perkosaan, penyiksaan, penahanan, penyerangan, dan perlakuan tidak manusiawi sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan untuk kasus ini. Dua orang mantan komandan komandan milisi serta kepala desa yang terlibat telah diadili, dan mendapat hukuman selama 3-12 tahun. Sedangkan dua terdakwa lainnya: mantan Danramil dan petugas kesehatan masih berada diluar jurisdiksi pengadilan ini. 
Kasus Perkosaan sesudah Penyerangan Gereja Suai  
Gereja Suai menjadi tempat masyarakat sipil mencari perlindungan dari kekerasan yang berkecamuk. Sejak awal tahun 1999 sudah ada ratusan masyarakat pengungsi di gereja Suai, yang secara bergelombang datang dan pergi ke Gereja Suai sesuai pasang-surutnya kekerasan di Suai. Karena saya bergabung dengan inisiatif masyarakat sipil untuk mengatasi situasi pengungsi di Timor-Timur, saya terlibat dalam upaya mengirim makanan ke gereja Suai pada bulan Juni dan Agustus 1999. Pada waktu itu kami menjumpai para pengungsi dan saya mendengar langsung kesaksian tentang kekerasan yang terjadi hampir diseluruh Kabupaten Covalima. Dari Dili, kami mengikuti terus perkembangan situasi di Gereja Suai sampai detik-detik terakhir sebelum pembantaian yang terjadi pada tanggal 6 September 1999. Tapi pada saat itu, kami semua sudah lari tunggang-langgang menyelamatkan nyawa masing-masing, sehingga permintaan tolong dari ketiga Pastor di Gereja Suai tidak dapat kami tanggapi.  Pada akhir bulan Oktober 1999, saya kembali mengunjungi kompleks Gereja Suai dan menemukan sebuah crime scene "TKP" yang begitu mengenaskan. Seluruh kota seperti ghost-townenas.  
 Karena kebanyakan orang masih berada di Timor Barat. Ada sisa-sisa tulang manusia yang telah dibakar di halaman depan gereja, ada pakaian, barang-barang milik pengungsi berserakan, dan darah dimana-mana. Ada baju perempuan berwarna merah-muda dengan bercak-bercak darah. Masyarakat setempat, yang telah kembali dari gunung, menaruh bunga ditempat-tempat dimana ada bekas-bekas manusia yang ditemukan, termasuk tempat dimana ketiga Pastor telah dibunuh. Sekali lagi kami mulai berbicara dengan para korban dan survivor, dan mulai mendapatkan sebuah gambaran tentang kekejian dan kezaliman yang luar biasa.  Menurut kesaksian para korban, sesudah penyerangan di Gereja Suai, orang-orang yang masih hidup dibawa secara paksa dan ditahan dibeberapa lokasi: Kodim Suai, SMP2, sebuah gedung panti asuhan, dan gedung Dharma Wanita. Disini terjadi perkosaan terhadap perempuan-perempuan yang begitu ketakutan dan tak berdaya oleh milisi Laksaur, Mahidi, dan juga anggota aparta keamanan Indonesia. Aparat keamanan Indonesia tak hanya lalai dan gagal menjaga keamanan mereka, bahkan dalam beberapa kasus ikut melakukan kejahatan ini.   
Kami dipaksa dibawa ke gedung SMP 2. Di sana kami dicaci-maki oleh milisi dan tidak diberi makan selama tiga hari. Setiap malam kami diganggu dan gadis-gadis dibawa pergi oleh para milisi. Pada tanggal 11 September, tepatnya pukul 9.00 malam, seseorang datang dengan membawa lampu senter sambil mengarahkannya ke wajah saya. Ia membuka kain sarung yang saya pakai untuk menutup wajah saya. Milisi Laksaur itu menyuruh saya bangun dan mengancam 
kalau tidak bangun mereka akan menembak orang-orang yang berada di sekitar saya. Saya terpaksa bangun dan mereka menarik saya keluar dari ruangan itu. Saya dibawa pergi oleh seorang milisi Laksaur yang memperkosa saya; setelah itu saya dikembalikan ke ruang semula, dimana saya hanya bisa menangis...Keesokan harinya kami dibawa ke gedung Dharma Wanita. Di sana kami diteror dan perempuan-perempuan dibawa pergi. Pada tanggal 14 September, seorang polisi yang kabarnya anggota SGI, memaksa saya masuk sebuah mobil. Saya ketakutan dan menangis. Seorang milisi mengatakan, “Lebih baik ikut kalau tidak nanti malam saya tembak kamu.” Saya dibawa ke salah satu rumah milik anggota polisi dan diperkosa. Setelah itu saya dikembalikan ke gedung Dharma Wanita saat orang-orang lain sudah tidur. 
 Ada puluhan kasus-kasus seperti ini yang kami temukan, dan, dalam dengar pendapat ini, kita juga telah dan akan mendengar kesaksian dari korban-korban penyerangan di Gereja Suai secara langsung. Bagi sebagian korban perkosaan berlanjut waktu mereka dipindahkan ke tempat pengungsian di Timor Barat. [Lihat Lampiran: Kasus perkosaan dan perbudakan seksual sesudah pembantaian di Gereja Suai, 6 September 1999, dari Laporan CAVR.] 
kalau tidak bangun mereka akan menembak orang-orang yang berada di sekitar saya. Saya terpaksa bangun dan mereka menarik saya keluar dari ruangan itu. Saya dibawa pergi oleh seorang milisi Laksaur yang memperkosa saya; setelah itu saya dikembalikan ke ruang semula, dimana saya hanya bisa menangis...Keesokan harinya kami dibawa ke gedung Dharma Wanita. Di sana kami diteror dan perempuan-perempuan dibawa pergi. Pada tanggal 14 September, seorang polisi yang kabarnya anggota SGI, memaksa saya masuk sebuah mobil. Saya ketakutan dan menangis. Seorang milisi mengatakan, “Lebih baik ikut kalau tidak nanti malam saya tembak kamu.” Saya dibawa ke salah satu rumah milik anggota polisi dan diperkosa. Setelah itu saya dikembalikan ke gedung Dharma Wanita saat orang-orang lain sudah tidur. 
 Ada puluhan kasus-kasus seperti ini yang kami temukan, dan, dalam dengar pendapat ini, kita juga telah dan akan mendengar kesaksian dari korban-korban penyerangan di Gereja Suai secara langsung. Bagi sebagian korban perkosaan berlanjut waktu mereka dipindahkan ke tempat pengungsian di Timor Barat. [Lihat Lampiran: Kasus perkosaan dan perbudakan seksual sesudah pembantaian di Gereja Suai, 6 September 1999, dari Laporan CAVR.] 
kalau tidak bangun mereka akan menembak orang-orang yang berada di sekitar saya. Saya terpaksa bangun dan mereka menarik saya keluar dari ruangan itu. Saya dibawa pergi oleh seorang milisi Laksaur yang memperkosa saya; setelah itu saya dikembalikan ke ruang semula, dimana saya hanya bisa menangis...Keesokan harinya kami dibawa ke gedung Dharma Wanita. Di sana kami diteror dan perempuan-perempuan dibawa pergi. Pada tanggal 14 September, seorang polisi yang kabarnya anggota SGI, memaksa saya masuk sebuah mobil. Saya ketakutan dan menangis. Seorang milisi mengatakan, “Lebih baik ikut kalau tidak nanti malam saya tembak kamu.” Saya dibawa ke salah satu rumah milik anggota polisi dan diperkosa. Setelah itu saya dikembalikan ke gedung Dharma Wanita saat orang-orang lain sudah tidur. 
Ada puluhan kasus-kasus seperti ini yang kami temukan, dan, dalam dengar pendapat ini, kita juga telah dan akan mendengar kesaksian dari korban-korban penyerangan di Gereja Suai secara langsung. Bagi sebagian korban perkosaan berlanjut waktu mereka dipindahkan ke tempat pengungsian di Timor Barat. [Lihat Lampiran: Kasus perkosaan dan perbudakan seksual sesudah pembantaian di Gereja Suai, 6 September 1999, dari Laporan CAVR.] 
Perkosaan dalam Konteks Penyerangan yang Luas dan Sistematik 
 Dalam jurisprudensi hukum internasional, satu kasus perkosaan yang terjadi dalam konteks penyerangan yang luas atau sistematik 
cukup
 untuk membuktikan bahwa telah terjadi perkosaan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan. Pada tahun 1999 di Timor-Timur telah terjadi ratusan perkosaan. Jumlah ini kemungkinan lebih karena kasus-kasus perkosaan karena korban enggan mengungkapkan apa yang telah terjadi karena stigmatisasi terhadap korban terus berlanjut
.Kekerasan seksual yang terjadi di Timor-Timur memenuhi definis hukum kejahatan terhadap kemanuisaan karena telah memenuhi unsur-unsur kejahatan tersebut:  
•Ada penyerangan
 (dalam bentuk pembunuhan, penahanan, dll termasuk penyerangan seksual) 
terhadap masyarakat sipil
 (disini kebanyakan korban masyarakat pengungsi, termasuk perempuan, yang tidak memegang senjata). 
•Penyerangan terjadi secara luas
 artinya sering terjadi, dalam skala luas, dilakukan secara kolektif, dengan korban yang banyak. Perkosaan terjadi hampir di semua distrik. Dalam beberapa kasus pelaku bertindak bersama (jointly committed crimes). 
Ada juga pertanggung-jawaban komandan yang tahu bahwa kejahatan terjadi dan gagal mencegah atau menghukum pelaku.  
•Sistematik
 --Disini temuan CAVR menunjukkan bagaimana kedua puncak kejahatan seksual konsisten dengan memuncaknya kejahatan-kejahatan lain pada bulan April dan September 1999. Ini menunjukkan bahwa ada sebuah pola dan rancangan. Terjadinya perkosaan di pos-pos militer dan digunakannya kendaraan, senjata, dan asset negara dalam menjalankan kejahatan ini juga mendukung temuan bahwa kejahatan dilakukan secara sistematik ini. 
•Pelaku kejahatan mengetahui konteks yang lebih luas dimana tindakan pelaku terjadi dan tahu bahwa tindakannya adalah bagian dari penyerangan ini. Juga, pelaku tahu bahwa serangan yang ia lakukan adalah bagian dari serangan dan ia tahu bisa menyerang korban (memperkosa) dan akan dibiarkan.
Perkosaan dalam Konteks Penyerangan yang Luas dan Sistematik 
Dalam jurisprudensi hukum internasional, satu kasus perkosaan yang terjadi dalam konteks penyerangan yang luas atau sistematik cukup untuk membuktikan bahwa telah terjadi perkosaan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan. Pada tahun 1999 di Timor-Timur telah terjadi ratusan perkosaan. Jumlah ini kemungkinan lebih karena kasus-kasus perkosaan karena korban enggan mengungkapkan apa yang telah terjadi karena stigmatisasi terhadap korban terus berlanjut
.Kekerasan seksual yang terjadi di Timor-Timur memenuhi definis hukum kejahatan terhadap kemanuisaan karena telah memenuhi unsur-unsur kejahatan tersebut:  
•Ada penyerangan (dalam bentuk pembunuhan, penahanan, dll termasuk penyerangan seksual) terhadap masyarakat sipil (disini kebanyakan korban masyarakat pengungsi, termasuk perempuan, yang tidak memegang senjata). 
•Penyerangan terjadi secara luas artinya sering terjadi, dalam skala luas, dilakukan secara kolektif, dengan korban yang banyak. Perkosaan terjadi hampir di semua distrik. Dalam beberapa kasus pelaku bertindak bersama (jointly committed crimes). 
Ada juga pertanggung-jawaban komandan yang tahu bahwa kejahatan terjadi dan gagal mencegah atau menghukum pelaku.  
•Sistematik
 --Disini temuan CAVR menunjukkan bagaimana kedua puncak kejahatan seksual konsisten dengan memuncaknya kejahatan-kejahatan lain pada bulan April dan September 1999. Ini menunjukkan bahwa ada sebuah pola dan rancangan. Terjadinya perkosaan di pos-pos militer dan digunakannya kendaraan, senjata, dan asset negara dalam menjalankan kejahatan ini juga mendukung temuan bahwa kejahatan dilakukan secara sistematik ini. 
•Pelaku kejahatan mengetahui konteks yang lebih luas dimana tindakan pelaku terjadi dan tahu bahwa tindakannya adalah bagian dari penyerangan ini. Juga, pelaku tahu bahwa serangan yang ia lakukan adalah bagian dari serangan dan ia tahu bisa menyerang korban (memperkosa) dan akan dibiarkan.
Selanjutnya, jurisprudensi internasional telah mengatakan bahwa kebijakan dapat dibuktikan dengan menunjukkan pola. Gay Mc Douggal, seorang pelapor khusus PBB, menulis: “Proof of policy, plan or design is generally considered to be a necessary element of a prosecution for crimes against humanity. The failure to take action to address widespread or systematic attacks against a civilian population can be sufficient to establish the requisite element of policy, plan or design.”

Pembuktian adanya kebijakan, rencana atau rancangan adalah salah satu unsur yang harus dibuktikan dalam kejahatan terhadap kemanusiaan. Tetapi kebijakan tersebut tidak harus sesuatu yang tertulis. Dalam jurisprudensi internasional, kegagalan untuk mengambil tindakan untuk mengatasi penyerangan yang luas atau sistematis terhadap masyarakat sipil adalah cukup untuk membuktikan adanya kebijakan, rencana atau rancangan.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar